Menempatkan Barus sebagai Episentrum Pembibitan Bahasa Indonesia: Berbahasa Luhur dan Terbang Menjulang Bersama sang Rajawali
Sang Rajawali terbang mengangkasa.
Bak, cita-cita diraih penuh bangga.
Sungguh, bahasa Indonesia mendunia.
Berkah Pak Amin memimpin Badan Bahasa.
Pada masa kepemimpinan Pak Amin, Badan Bahasa dapat disebut panen keberkahan. Begitu banyak capaian luar biasa. Semuanya tampak jelas membanggakan dan menjadikan setiap urusan berbahasa sangat luhur atau mulia. Bahasa Indonesia juga makin mendunia; meraih derajat ketinggian karena sang Rajawali terbang menjulang ke angkasa.
Semula bahasa Indonesia dicita-citakan sangat mulia agar dapat diterima di forum resmi PBB pada 2045 ketika tiba Indonesia Emas. Kemuliaan, cita-cita, dan impian bersama ini diraih jauh lebih cepat melalui forum UNESCO. Itu merupakan berkah kepemimpinan Pak Amin. Yakinlah bahwa sang rajawali akan terbang menjulang lebih tinggi lagi dengan tetap membawa misi kebahasaan ke lapis angkasa selanjutnya. Lalu, dalam misi kebahasaan ini, kapan Barus ditempatkan sebagai episentrum pembibitan bahasa Indonesia? Sungguh, patut disyukuri bahwa penjelajahan Barus telah dapat dilakukan semasa kepemimpian beliau.
Terima kasih atas kemerdekaan yang telah diberikan untuk mengungkap kenangan Barus sebagai sebuah situs memori kolektif bangsa demi keluhuran atau kemuliaan bahasa Indonesia. Untuk itu, izinkan saya mengutip perkataan bijak dari Yudi Latif (dalam komunikasi pribadi). “Ibarat elang,” katanya, “manusia sejati adalah penjelajah antarwaktu dengan sepasang sayap imajinatif: kenangan dan impian.”
Pada suatu ketika dalam kesempatan diskusi perencanaan bahasa, pernah muncul pertanyaan begini. Siapakah sosok ideal dalam semangat “Trigatra Bangun Bahasa”? Jawaban sahihnya adalah Pak Amin. Beliaulah tokoh ideal yang terbang menjulang dengan spirit berbahasa luhur senantiasa dalam praktik utamakan bahasa Indonesia; lestarikan bahasa daerah; (dan) kuasai bahasa asing.
Meneruskan Perjuangan Sanusi Pane (Calon Pahlawan Nasional)
Insyaallah, akan lebih banyak lagi capaian hebat dari Badan Bahasa. Lembaga kebahasaan ini terunut atau terurut pada awal pembentukan kelembagaan dari Sanusi Pane dengan tajuk “Institut Bahasa Indonesia”. Tajuk pikiran Sanusi Pane ini merupakan judul makalah yang disajikan pada peristiwa Kongres Bahasa Indonesia (KBI) Pertama pada tanggal 25--28 Juni 1938 di Solo. Bagi pihak Belanda, ketika itu, peristiwa KBI perdana tersebut diberitakan sangat menggemparkan. Salah satu bintang pembicara KBI itu ialah Sanusi Pane.
Sebagai catatan, selain ihwal pembentukan lembaga kebahasaan, ada prasaran tentang sejarah bahasa Indonesia. Dua makalah itu dibentang sekaligus oleh Sanusi Pane pada satu peristiwa akademis-kebahasaan tersebut. Apabila dirunut lebih lanjut, program kegiatan (tugas dan fungsi) Badan Bahasa tampak terlaksana sukses dengan meneruskan jalan pemikiran Sanusi Pane. Dalam hal pelaksanaan pengembangan perbendaharaan bahasa Indonesia—sekadar untuk ilustrasi—mengapa kekayaan kosakata Indonesia bersumber dari khazanah bahasa daerah dan bahasa asing? Mengapa bukan bahasa daerah saja? Mengapa pula bukan bahasa asing saja sumbernya?
Semua pertanyaan tersebut kiranya perlu dijadikan catatan penting yang sebagian adalah untuk mengenang sepak terjang perjuangan Sanusi Pane. Hampir sepanjang hayatnya, tokoh pergerakan nasional tersebut berjuang demi Indonesia melalui dunia bahasa dan sastra. Secara khusus, dalam hal apakah daerah dan/atau asing itu, Sanusi Pane pernah berkubu dengan dirinya sendiri untuk berpolemik menentang alam pikiran Sutan Takdir Alisjahbana. Ketika Takdir menentang semangat kedaerahan, tokoh sastra pergerakan Pujangga Baru ini—melalui esai “Persatuan Indonesia” (1935)—berpendirian mengambil jalan sintesis Timur dan Barat. Kehadiran Sanusi untuk berpolemik dengan Takdir merupakan fakta yang tercatat dalam peristiwa sejarah peperangan terbesar untuk berpikir membentuk identitas keindonesiaan pada abad XX.
Pada abad XXI, yang mungkin lebih lanjut dapat disebut sebagai abad konsolidasi kebahasaan, kehadiran Badan Bahasa beserta penyelenggara tugas dan fungsinya memperoleh payung hukum konstitusi yang berupa dokumen Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009. Dokumen resmi negara ini memuat pengaturan keberadaan dan kebermanfaatan tiga jenis simbol kebahasaan (bahasa Indonesia, daerah, dan asing). Konsolidasi kebahasaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan ini merupakan perencanaan bahasa terangkai (joint language planning dalam istilah Charlie Hanawalt, 2010) yang bermaujud dalam gerakan pembangunan nasional atas tiga jenis bahasa itu dengan spirit gerakan “Trigatra Bangun Bahasa”.
Dalam konteks hubungan internasional, secara khusus dalam hal geostrategi/geopolitik kebahasaan di kawasan Asia Tenggara, pada 2022 telah sangat luas beredar klaim dari para pihak negara tetangga Indonesia bahwa bahasa Melayu berpenutur 300 juta penduduk ASEAN. Keluhuran bahasa Indonesia sebagai indentitas Indonesia tentu tergerus ketika tersubordinasi oleh bahasa kebangsaan mereka. Ketika itu, sebuah rapat Badan Bahasa dilakukan persis selepas waktu subuh pada pagi hari (WIB). Betapa serius klaim itu untuk ditangani bersama.
Sebagaimana terlihat pada gambar di atas (https://www.visualcapitalist.com/100-most-spoken-languages/), bahasa Indonesia (Indonesian) merupakan varian Melayu (Selat) Malaka. Data pendukung keberadaan titik kemuasalan bahasa Indonesia itu dapat diperoleh dari fakta sejarah kehadiran seorang pujangga terkemuka di seputar Malaka. Pujangga dimaksud adalah Raja Ali Haji (bin Raja Haji Ahmad), yang karya kesusastraannya menjadi rujukan dunia dalam tradisi penulisan Melayu klasik dan modern (Bappenas, 2023).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Republik Indonesia telah menempatkan tokoh Raja Ali Haji tersebut dalam daftar DNA sastra bangsa Indonesia. Hasil pengkajian Bappenas atas keunggulan bahasa dan sastra (Melayu) pada era Raja Ali Haji (abad XIX) memberikan gambaran konkret terkait dengan arah titik-titik peradaban Nusantara di sepanjang garis Selat Malaka tersebut sebagai jalur pembibitan/pembentukan bahasa Indonesia, tentu dengan bibit dan bentuk kebahasaan Melayu, di satu sisi.
Di sisi lain, pembedaan definitif atas sifat kebahasaan Melayu sebagai bahasa daerah (di dalam Indonesia) dan sebagai bahasa asing (di luar Indonesia) juga dapat dilakukan seturut dengan definisi operasional dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 (Pasal 1). Spirit gerakan “Trigatra Bangun Bahasa” yang sekarang bergelora dalam pelaksanaan amanat undang-undang itu memang tidak dapat dimaknai sebagai semangat pemisahan (separation) atas tiga jenis bahasa (Indonesia, daerah, dan asing).
Tiga bahasa tersebut masing-masing tidak akan saling terisolasi. Pembedaan itu—alih-alih pemisahan—secara khusus atas keberadaan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu agaknya masih merupakan ikhtiar yang tampak dilakukan pula oleh para tokoh pergerakan nasional sejak perumusan teks Sumpah Pemuda. Dapat dibayangkan bahwa kubu pemikiran M. Yamin yang ketika berlangsung perumusan teks itu pada tanggal 2 Mei 1926 tetap berpegang paham bahwa bahasa Indonesia tidak ada. Bahkan, ketika itu, Yamin berkata, “Tabrani tukang ngelamun.”
Yang ada dalam kubu pemikiran M. Yamin pada saat pembentukan bahasa (persatuan) Indonesia itu ialah apa yang dipahami dari pidatonya sebagai “bahasa-bahasa bumiputra (bahasa daerah)”. Secara lebih spesifik—sebagaimana tertulis dalam Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama (Muh. Nur, 1981: 106)—Yamin menunjuk bahasa-bahasa Melayu dan Jawa. Pidato Yamin itu memang tidak ditolak oleh Tabrani selaku ketua kongres pada saat itu. Namun, melalui koran Hindia Baru (11 Februari 1926), Tabrani telah terlebih dahulu mencetuskan pergerakan penerbitan bahasa Indonesia yang pada intinya tidak menggandung sifat imperialisme di antara sesama anak bangsa Indonesia. Rupanya, perdebatan tidak berhenti pada saat itu.
Dalam perdebatan lebih lanjut, Sanusi Pane—sebagaimana disiarkan melalui lembaga berita Antara (4 April 1940)—mengidentifikasi enam paham dasar mengenai bahasa Indonesia. Pertama—dalam urutan identifikasinya—adalah paham yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu, cuma namanya yang berubah. Kedua adalah pendapat bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu modern, yaitu bahasa Melayu yang sudah mencernakan zat-zat yang baru. Yang ketiga menganggap bahasa Melayu Riau yang menjadi dasarnya. Paham yang keempat memandang soal bahasa Indonesia dari jurusan bahasa Melayu sekolah.
Penganut paham kelima disebutkan termasuk mereka yang menyangkal adanya bahasa Indonesia. Sementara itu, yang keenam teridentifikasi memakai nama Melajoe Oemoem. Lalu, Sanusi Pane sendiri menyatakan bahwa pendapat umum belum ada. Menurutnya, pendapat umum itu masih akan lama. Ia berkata, “… tidak mengapa: dalil, formulae basa Indonesia akan makin dapat dinjatakan berbarengan dengan toemboehnja keboedajaan dan basa Indonesia.” Sikap akhir Sanusi Pane ini tampak jelas sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009. Dalam dokumen ini disebutkan sangat tegas bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa (Pasal 25 ayat [1]).
Catatan ihwal Sanusi Pane sebagai pejuang bahasa dan sastra Indonesia sangat penting diungkap di sini untuk bersyukur bahwa semasa kepemimpinan Pak Amin di Badan Bahasa telah terbuka kesempatan guna mengusung dua tokoh kunci (M. Tabrani dan Sanusi Pane) agar menjadi pahlawan nasional atas perjuangan membentuk bahasa persatuan Indonesia. Di balik gelar pahlawan nasional yang disematkan kepada M. Tabrani melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/TH 2023 tanggal 6 November 2023 terdapat peristiwa dahsyat yang patut direnungi bersama.
“Suara menjadi 2 lawan 2 sebab Sanusi Pane menyetujui pendirian saya,” kata M. Tabrani pada 1980 ketika mengenang sengitnya perdebatan dalam perumusan hasil Kongres Pemuda Indonesia I (1926) oleh empat tokoh (M. Yamin, Djamaloedin, M. Tabrani, dan Sanusi Pane). Tabrani memang penggagas bahasa Indonesia. Gagasan bahasa persatuan ini terbukti dapat bergerak maju dengan kehadiran Sanusi. Insyaallah, pengusungan Sanusi Pane ini sebagai calon pahlawan nasional dapat diteruskan pada masa kepemimpinan Badan Bahasa yang akan datang.
Langkah Awal Penjelajahan Kosakata Kapur Barus
Pada masa kepemimpinan Pak Amin, sangat terbuka lebar ruang ekspresi akademis di Badan Bahasa untuk menjelajahi jagat/alam bahasa Indonesia setinggi-tingginya dan sedalam-dalamnya. Pada kedalaman tertentu, penjelajahan kosakata kapur barus telah dapat dilakukan sebagai langkah awal guna menyambung mata rantai kebahasaan yang tampak terputus di seputar kawasan Selat Malaka itu dengan episentrum pembibitan bahasa Indonesia di Barus. Hal itu tentu dilakukan demi keluhuran bahasa Indonesia, di samping kemuliaan bahasa daerah dan bahasa asing yang semuanya diakui seturut konstitusi Indonesia.
“Satu-satunya kosakata bahasa Indonesia(/Melayu) yang dimasukkan Allah dalam Alquran [Al-Qur’an] dan Hadis adalah konsep kafuuran yang bisa diartikan ‘kapur barus’.” Begitulah temuan dari ilmuwan (Rusmin Tumanggor, 2019) yang memberikan petunjuk empiris betapa jauh jelajah kosakata khas bahasa Indonesia dari bumi Nusantara ke dunia (bahasa) Arab. Selain dalam bahasa Arab yang terdapat kata kafuuran, dalam bahasa Latin terkenal kata champora. Temuan ilmiah ini tentu bermakna ganda seperti berikut.
Jelajah kosakata kapur barus menunjukkan perkembangan awal bahasa Arab—demikian pula bahasa lain (dari luar wilayah Nusantara yang berkeindonesiaan)—dalam dinamika peradaban bangsa hingga diakuinya jenis bahasa asing ini dalam konstitusi Indonesia.
Jelajah kosakata kapur barus menunjukkan perkembangan awal bahasa Melayu—demikian pula bahasa lain (dari dalam wilayah Nusantara yang berkeindonesiaan)—dalam dinamika peradaban bangsa hingga diakui jenis bahasa daerah ini dalam konstitusi Indonesia.
Jelajah kosakata kapur barus menunjukkan perkembangan awal bahasa Indonesia—pada siklus pembibitan bersama dengan bahasa daerah dan asing—dalam dinamika peradaban bangsa hingga diakuinya bahasa nasional dan resmi negara dalam konstitusi Indonesia.
Langkah awal penjelajahan kosakata kapur barus telah memperoleh panduan dari Bappenas (2023) yang membuat daftar DNA sastra bangsa Indonesia dengan menempatkan tokoh sastra Melayu Barus—Hamzah Fansuri (abad XVI—XVII)—pada urutan pertama sebelum Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad. Penggunaan kata fansur yang melekat pada nama sastrawan terkemuka dari kesultanan Aceh ini merujuk kota Barus sebagai pusat perdagangan dunia rempah-rempah pada masa silam, khususnya komoditas kemenyan dan kapur barus. Perdagangan komoditas itu sudah dikenal pada zaman Nabi Musa.
Diperlukan langkah lebih lanjut untuk menjelajahi perkembangan kosakata khas Indonesia kapur barus. Kepentingan strategis untuk menempatkan Barus sebagai episentrum pembibitan bahasa Indonesia ialah demi kepastian bahwa bahasa identitas yang dibawa terbang menjulang ke angkasa ini berakar kuat dalam jati diri bangsa Indonesia. Untuk itu, ikhtiar diperlukan agar tidak mudah diklaim bahwa akar kuatnya bahasa Indonesia ada pada negara tetangga.
Pada akhirnya, memang, diperlukan keperkasaan sang Rajawali dalam setiap ikhtiar untuk menjaga keluhuran bahasa Indonesia. Selamat dan sukses melanjutkan penerbangan, Pak Amin, ke mana pun nanti dengan tetap menjadi model “Trigatra Bangun Bahasa”. Semoga Allah Swt. senantiasa melipatgandakan keberkahan. Amin Allahuma amin. ---Maryanto---

Maryanto
Widyabasa Ahli Madya (Penghayat Trigatra Bangun Bahasa) Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Bahasa, Kemendikdasmen