Literasi dan Kemerdekaan Guru

Apakah siswa kita gemar berliterasi? Jawabannya tentu terekam dari capaian siswa. Toh kita memercayai adagium: guru kencing berdiri, siswa kencing berlari. Kenyataannya, peringkat Indonesia untuk kategori literasi pada tahun 2018 malah sama persis dengan peringkat pada saat pertama kali Indonesia ikut tes PISA tahun 2000. Bahkan, pada tahun 2022 skor literasi kita justru menurun lagi 12 poin dari skor pada periode sebelumnya dan secara global menurun 18 poin. Artinya, skor literasi kita malah makin menurun sejak tahun 2000. Tak ada yang mengejutkan sebenarnya dengan fakta itu. Kita dapat mengambil data yang dapat diperbandingkan. 

Misalnya, pada periode 2000—2010, rata-rata perkembangan nilai indeks pembangunan manusia (IPM) mengalami penurunan sebesar 0,92% per tahun. Lalu, indeks itu terus menurun menjadi rata-rata sebesar 0,78% per tahun pada periode 2010—2015 (UNDP, 2017). Padahal, kita pernah mengalami percepatan peningkatan skor IPM, yaitu pada dekade 1990—2000, dengan rata-rata perkembangan nilai indeks sebesar 1,36% setiap tahun. Dalam perkiraan saya, hal ini terjadi sejak desentralisasi diterapkan, terutama pada dunia pendidikan. Karena desentralisasi diterapkan, kemerdekaan guru pun terabaikan. 

Akibatnya, pembelajaran menjadi kaku, artifisial, dan nyaris tanpa pikiran. Kita memang patut berbangga karena angka capaian siswa yang tertera di rapor makin berkilau. Namun, angka itu tak mencerminkan apa-apa. Boleh saja tertera nilai literasi yang tinggi di rapor. Pada kenyataannya, melalui pendekatan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) pada tahun 2021, kurang dari 50% siswa kita yang dapat mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca. Konon, hanya 30 persen pula siswa kita yang memiliki kemampuan literasi dan numerasi minimal. Hal itu sungguh sebuah ironi yang sangat memilukan.  Betapa tidak? Pada masa kini, ada banyak suguhan bacaan. Buku gratis disebar oleh pemerintah. Malah, ada gerobak baca, pun perpustakaan bergerak oleh pegiat literasi. Namun, suguhan bacaan yang berserak itu tak kunjung mendongkrak kualitas literasi. Kita belajar membaca, tetapi hasil akhirnya hanya mengeja kata. Kita belajar berpikir, tetapi hasil akhirnya hanya menghafal. Kita belajar bertarung gagasan melalui debat, tetapi hasil akhirnya hanya berkata-kata tanpa argumen. Jika pun berdebat, kita melakukannya tanpa gagasan karena dalam dunia pendidikan, kita diajarkan untuk patuh, bukan untuk tahu. 

Hal itu terjadi karena ideologi pendidikan kita masih cenderung berorientasi pada kepatuhan, belum keingintahuan. Jika guru melakukan kritik, mereka akan dicap tidak patuh. Jika siswa memberikan kritik, mereka juga acap disebut kurang berkarakter. Sikap kritis tak lagi dibaca sebagai uji pengetahuan, tetapi cenderung sebagai tolok ukur tinggi rendahnya karakter (kepatuhan). Oleh karena itu, atas nama ketidakpatuhan, sering kali guru tak bersemangat untuk berliterasi dan memberikan cara pandang yang berbeda. Atas nama kepatuhan, siswa juga sering menjadi tidak bersemangat untuk mendebat gurunya. Terjadi pendangkalan makna literasi.

Di setiap sekolah, gerakan literasi hampir tak bermakna karena ketiadaan panduan dan pendampingan dari guru. Itu terjadi karena di daerah, guru kurang diberdayakan untuk menggerakkan dan memerdekakan literasi. Padahal, daerah menjadi salah satu lokus penting dalam menggerakkan denyut literasi, bahkan sastra. Saya punya pengalaman menarik tentang itu: fakta bahwa saat ini generasi muda sudah mulai terasuki gawai. Akibatnya, mereka lebih memilih berselancar di gawai daripada membaca. Akan tetapi, sesuai dengan pengalaman saya sendiri, siswa SD dan SMP masih gemar membaca. Potensi ini harus dilirik dan dikembangkan dengan baik.

Kebetulan, saya mempunyai komunitas, yaitu Sanggar Maduma. Di komunitas ini terdapat fasilitas yang berupa rak buku dan beberapa sumbangan buku, seperti sumbangan dari Balai Bahasa Provinsi Sumatra Utara. Sering kali di komunitas itu para siswa meninggalkan gawai dan memilih untuk membaca buku. Bacaan yang cenderung mereka pilih ialah buku-buku bergambar, yaitu cerita anak. Meski buku itu ditujukan untuk kategori pembaca pemula, ternyata mereka sangat tertarik untuk membacanya. Artinya, generasi muda masih sangat potensial untuk dibina dan dikembangkan minat bacanya. Potensi ini harus ditumbuhkembangkan dengan berbagai strategi.

Selain itu, setelah sanggar binaan saya, Sanggar Maduma, mendapatkan fasilitasi melalui Banpem Komunitas Sastra, kami mengadakan berbagai festival kesastraan, seperti menulis puisi, membaca puisi, dan musikalisasi puisi. Di daerah kami, di Humbang Hasundutan, festival seperti ini sangat jarang dan tidak dilirik oleh pemerintah daerah. Di luar dugaan kami, siswa sangat tertarik untuk mengikuti kegiatan kesastraan, termasuk musikalisasi puisi. Padahal, musikalisasi puisi masih termasuk hal yang aneh di Humbang Hasundutan. Namun, para siswa antusias untuk bereksplorasi sehingga kami harus menutup pendaftaran karya lebih awal.  

Artinya, semangat literasi dan semangat berkarya di daerah sebenarnya masih sangat tinggi. Namun, mereka kekurangan panggung. Seharusnya, pemerintah daerah melibatkan dan “mengorkestrasikan” guru agar mereka dapat berkiprah untuk menciptakan panggung dan iklim literasi. Pemerintah daerah juga harus diintervensi oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah memberikan panggung untuk literasi dan kesastraan. Hal ini perlu dilakukan karena pemerintah daerah hampir tidak mempunyai misi dan ambisi menggerakkan literasi. Guru-guru malah seperti tidak diberi kebebasan dan menganggap bahwa gerakan literasi tidak berguna.

Bagi pemerintah daerah, seolah-olah gerakan literasi itu merupakan gerakan sia-sia. Akibatnya, saat ini guru ibarat mendidik siswa tanpa pikiran. Kegiatan literasi dilakukan, tetapi tidak dihidupkan. Literasi hanya merupakan kegiatan sensasi. Kegiatan literasi secara teknis disederhanakan sebatas hias-menghias mading atau mewarnai. Buku bukan untuk dibaca, apalagi dibedah dan didiskusikan, melainkan untuk dipajang sampai lapuk. Buku bukan lagi jendela dunia atau, setidaknya, tumpukan pengetahuan, melainkann hanya sebatas tumpukan kertas. Ketika sudah usang, ia dibuang begitu rupa. Bukankah sering kita dengar tentang perpustakaan yang membuang dan membakar buku usang, bahkan termasuk skripsi? 

Dari sana cukup terang diketahui bahwa literasi kita sangat memilukan. Para penggawa utama yang mendenyutkan gerakan literasi di sekolah juga tak lepas dari prestasi literasi yang buram. Berdasarkan penelitian Anita Lie (Kompas, 5/03/2019), hampir separuh dari sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu paragraf. Dalam bukunya, Johannes Sumardinata juga menyebutkan bahwa tak sampai 0,5 persen guru bahasa Indonesia membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Data ini memang masih mentah. Mungkin saja guru tak suka membaca karya Pramoedya Ananta Toer. 

Namun, sebagai pendidik, mereka ternyata tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Artinya, guru kita tak lagi membaca, apalagi menulis. Guru hanya menonton video hiburan dan sesekali membuat video. Dampaknya, siswa pun cenderung menjadi penonton video sensasional nan dangkal. Artinya, di tengah banyaknya bahan bacaan, kita justru tak membaca karena tak ada teladan. Memang ada saja calon pembaca yang budiman. Namun, mereka akan dihantam godaan digital. Kita kehilangan fokus. Akibatnya, kita mendapatkan segalanya, tetapi sekaligus kehilangan segala-galanya pula. 

Dunia berada dalam genggaman, tapi tangan kita tak kuat untuk menggenggamnya. Kita takluk dalam godaan. Setidaknya, dalam penelitian yang dilakukan tim peneliti American Psychological Association terhadap para pekerja yang diharuskan bertahan dalam alur pekerjaannya, terungkap bahwa gangguan sesaat dapat menggagalkan alur pikiran para pekerja tersebut. Interupsi yang terjadi dalam 4,4 detik saja memicu terjadinya tiga kali lipat kesalahan dalam urutan alur pekerjaan (Journal of Experimental Psychology, 2014). Hal serupa akan terjadi ketika pendidikan dibuat serbadigital. Inilah yang membuat kabut tebal literasi dalam pendidikan.

Dengan membiarkan siswa belajar secara digital atau berliterasi secara digital, kita membuat mereka kehilangan fokus. Seharusnya, sekolah mengambil peran. Bagaimanapun, gerakan literasi harus kental dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, guru bahasa harus dimotivasi dan bahkan dipaksa untuk menjadi teladan literasi di sekolah. Kita tak bisa lagi mengartikan literasi sebatas pengetahuan mengeja belaka. Lebih dari itu, guru harus dimerdekakan seperti sediakala. Percayalah, potret literasi kita yang buruk, meski sudah didukung penuh dengan buku yang berjubel, ialah buah tak langsung dari ketidakmerdekaan guru pada era otonomi saat ini. 

Riduan Situmorang

Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Guru Pengajar Praktik PGP Humbang Hasundutan, Koordinator P2G Humbang Hasundutan

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa