“Pamflet Penyair” Rendra dan Penolakannya terhadap Slogan dan Lekra

Rendra (2001: 11) menolak sudut pandang dan cara yang dipakai oleh Lekra. Rendra berpendapat bahwa Lekra membuat penyimpulan slogan yang artinya ‘kesimpulan’ saja. Jadi, itu persis seperti orang yang membuat sajak cinta yang saya anggap juga sebagai slogan. Sudah cukup banyak slogan kalau kita mau jujur. Berkenaan dengan penolakannya terhadap slogan dan Lekra, Rendra (2001: 11) memberikan penjelasan sebagai berikut.

“Kalau kita awas mengamati kehidupan, sudah banyak slogan yang diutarakan dalam persoalan cinta, filsafat, agama dan mistik. Tetapi dibiarkan saja. Tetapi kalau mengenai masalah sosial langsung disorot, karena slogan ini berasal dari kelembagaan politik. Padahal sebenarnya, sejak dahulu juga sudah ada. Kalau kita mengijinkan istilah slogan terhadap pantun, petatah-petitih, kita juga harus mengijinkan adanya slogan tersebut. Tetapi saya tak suka petatah-petitih, ataupun slogan dalam karier saya. Saya tak suka jalan yang ditempuh sosialisme oleh Lekra, bahwa semuanya itu harus berorientasi pada orientasi partai, politik yang resmi ataupun ideologis.”

Saya berorientasi kepada fakta, jadi tidak pada kesimpulan ...”

Dengan berangkat dari kesadaran akan fakta itulah, Rendra memersepsi dan memosisikan dirinya sebagai penyair. Menurut Rendra, manusia itu merupakan pribadi yang bersifat organik, demikian pula masyarakat bersifat organik. Di dalam masyarakat ada daya hidup dan ada daya mati, seperti tiranisme, fasisme, anarki, oligarki, oligopoli, kolonialisme, imperalisme, mafia, kekolotan, pelacuran, korupsi, dan kriminalitas dalam segala macam bentuknya. Bentuk daya mati merupakan penyakit dalam masyarakat. Karena itu, menurut Rendra, hal serupa itu merusak daya akal, daya organisasi, daya mobilitas, daya tumbuh kembang, daya cipta, dan daya inisiatif anggota masyarakat sehingga menjadi manusia yang rendah sumber dayanya. Justru demi menjaga daya hidupnya, manusia harus membatasi perluasan keinginannya dalam batas peraturan yang disebut hukum kewajaran, yaitu hukum alam, hukum masyarakat, dan hukum akal sehat. Rendra (2001: 19) memberikan penegasan sebagai berikut.

“Selaku pribadi atau penyair, saya membela ketiga Hukum Kewajaran itu dan melawan kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat yang melecehkannya karena komitmen saya kepada daya hidup.

Jadi, karena komitmen saya kepada daya hidup itulah yang menyebabkan saya sering melontarkan kritik-kritik sosial melewati sajak-sajak saya. Bukan karena ideologi politik.”

Untuk itulah Rendra merasa harus menemukan formula seni yang baru, yaitu idiom statistik yang menekankan pada pengumpulan fakta dan penyajian dari penghayatan akan fakta itu dalam bentuk yang grafis sekaligus plastis. Dalam menekuni eksperimen pada saat berkarya, Rendra menggunakan daya selektif sehingga harus membuang retorika. Chairil Anwar banyak menginspirasi Rendra. Menurut Rendra, Chairil Anwar mampu menciptakan daya plastis dengan bahasa yang biasa. Contohnya tergambar dalam sajak, “Aku berkaca/Bukan buat ke pesta//Ini muka penuh luka/Siapa punya//” atau “Kalau sampai waktuku/‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu/ Tidak juga kau//Tak perlu sedu sedan itu//”. “Bukankah ini bahasa yang biasa?” tanya Rendra. Kemudian, dia menegaskan, “Saya lebih banyak diinspirasi oleh Chairil Anwar dari sosialismenya orang Lekra. Kenapa?”

“Ini karena, meskipun sama-sama berminat pada masalah-masalah sosial dan keadilan untuk rakyat, tetapi orang Lekra tidak punya penonton, tak punya pembaca. Rumus keseniannya tidak sukses, malahan saya anggap gagal” (2001: 12). 

Hal itulah yang menyebabkan Rendra menolak penggunaan slogan di dalam perpuisiannya karena slogan mampu menciptakan kebersamaan, sebagaimana diungkapkan Goenawan Mohamad, “Apabila kita sadari bahwa yang menjadi tujuan bukanlah sekadar kebersamaan yang hanya dipergunakan untuk kekuasaan, puisi akan lebih berarti karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas dan memustahilkan kekompakan yang munafik.” (1993: 77)

Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI) menerbitkan sajak-sajak Rendra yang berisikan kritik sosial dan mengidentifikasinya sebagai Potret Pembangunan dalam Puisi. Kumpulan sajak tersebut pertama kali terbit di Indonesia pada tahun 1980 dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh A. Teeuw, Pamfleten van een Dichter. Kemudian, kumpulan sajak itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Jepang. Hal itu disusul dengan penerbitan secara utuh dalam satu buku berbahasa Indonesia dan Inggris di Australia dengan judul State of Emergency atau Masa Darurat berdasarkan isi sajak yang akan dikutip selengkapnya sekaligus sebagai akhir pembicaraan berikut ini.

Sajak Rendra

“Sajak Sebatang Lisong”

 

Menghisap sebatang lisong,

melihat Indonesia Raya,

mendengar 139 juta rakyat,

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang,

berak di atas kepala mereka.

 

Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan.

 

Aku bertanya,

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan papantulis-papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan.

 

Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang,

tanpa pilihan,

tanpa pepohonan,

tanpa dangau persinggahan,

tanpa ada bayangan ujungnya.

............................................

 

Menghisap udara

yang disemprot deodorant,

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya;

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiunan.

Dan di langit;

para teknokrat berkata:

 

bahwa bangsa kita adalah malas,

bahwa bangsa mesti dibangun,

mesti di-up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.

 

Gunung-gunung menjulang.

Langit pesta warna di dalam senjakala.

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam,

terhimpit di bawah tilam.

 

Aku bertanya,

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

 

Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya,

di bawah iklan berlampu neon.

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gebalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.

..................................................................

 

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sediri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan yang nyata.

 

Inilah sajakku!

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

 

19 Agustus 1977

ITB Bandung

(Potret Pembangunan dalam Puisi, Cet. III, 2013: 29—30)

Simpulan

Rendra sendiri akhirnya menyebut estetika sajaknya yang merupakan penyajian dari penghayatan akan fakta-fakta dalam bentuk yang grafis sekaligus plastis ini sebagai “Pamflet Penyair” (2001: 8—14). Estetika sajak Rendra yang didasari kesadaran sosial semacam itu kemudian menginspirasi perpuisian kritik sosial yang hadir pada periode berikutnya, sebagaimana perpuisian Emha Ainun Nadjib yang dia sebut sebagai “puisi protes” (1995: 112) dan perpuisian A. Mustofa Bisri yang dia sebut sebagai “puisi balsem” (1991). *****

Daftar Pustaka

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ismail, Taufiq. 1969. “Wawancara Taufiq Ismail”. Jakarta: Sinar Harapan, 30 Juli 1969.

_______. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.

Ismail, Taufiq dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi . Jakarta: Horison.

Jassin, H.B. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Nadjib, Emha Ainun. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. 2001. Pengkajian Puisi. Cet. VIII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

________. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

________. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press.

________. 2013. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus.

Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair, dan menjadi dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu), Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa