Membangun Bangsa dari Bahasa

Kemendikdasmen sudah meluncurkan enam program prioritas. Salah satu dari program prioritas itu adalah Pembangunan Bahasa dan Sastra. Ada empat poin yang menjadi fokus pembangunan bahasa dan sastra: pemartabatan bahasa negara, pelindungan bahasa daerah, penginternasionalisasian bahasa Indonesia, serta peningkatan literasi. Sudah tepat bahwa Kemendikdasmen peduli terhadap bahasa dan literasi. Hal itu menyusul prestasi literasi kita yang selalu berada di bawah. Hal itu terjadi karena sejak pertama kali ikut tes PISA, hasil untuk kategori literasi pada 2018 malah sama persis dengan hasil pada pertama kali ikut PISA, yakni pada tahun 2000.

Tragisnya, pada 2022 skor literasi kita justru menurun lagi sebanyak 12 poin dibandingkan dengan hasil pada periode sebelumnya. Sepanjang sejarah pada studi PISA, kesenjangan rerata pencapaian internasional dengan pencapaian literasi kita memang selalu tinggi, yaitu hampir mencapai 100 poin per periode. Pada 2009, misalnya, skor literasi kita berada pada angka 402. Pada saat itu rerata global adalah 493. Lalu, 3 tahun kemudian (2012), hasil PISA kategori literasi kita adalah 396 atau di bawah rerata global, yaitu 492. Sementara itu, pada 2015 skor kita adalah 397 dan rerata global 493. Pada hasil PISA pertama setelah GLN digalakkan (2018), skor kita justru menurun menjadi 371 atau berada di bawah rata-rata perolehan dunia, yaitu 487.

Ketika UNESCO menyebutkan bahwa indeks literasi kita hanya 0,001 (dari 1.000 orang hanya 1 yang membaca), hal itu sama sekali tidak mengejutkan. Tidak mengejutkan pula jika berdasarkan hasil The World’s Most Literate Nations 2016, kita berada pada peringkat 60 dari 61 negara. Kita hanya unggul dari negara Botswana di Afrika. Sebagai gejalanya, budaya membaca siswa kita (khususnya SMA) sangat menggetirkan, yaitu hanya nol judul buku yang dibaca setiap tahunnya (Kompas, 10 Agustus 2021). Hal itu jauh berbeda dengan siswa sederajat dari negara-negara maju, seperti Jerman (32), Belanda (30), Rusia (12), dan Jepang (15).

Heroik

Alih-alih siswa, guru pun demikian. Menurut penelitian Anita Lie (Kompas, 5-3-2019), hampir separuh dari guru Bahasa Indonesia yang menjadi sampel tidak dapat menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada saja guru yang tidak mengerti apa itu paragraf. Dengan logis tentu kita dapat mengkritiknya. Jika profil gurunya saja masih jauh dari semangat berliterasi, apa lagi siswanya? Pada gerakan literasi sekolah, guru nyata-nyata tidak memberikan teladan yang signifikan. Guru hanya mengawasi tanpa pernah membaca buku. Dalam hal ini, jangankan menjadi inspirasi, untuk menjadi contoh saja guru kita mayoritas belum bisa.

Sekarang kita masuk ke dalam dunia bahasa. Belakangan ini kita gencar untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia sebab bagi kita, internasionalisasi demikian akan menjadi kehormatan bangsa di mata dunia. Lagi pula, kita sudah bersumpah untuk tidak sekadar mengakui, tetapi juga menjunjung bahasa Indonesia. Bahkan, jika dilihat dari kekuatan makna, pilihan kata pada butir ketiga Sumpah Pemuda sangat heroik, yakni menjunjung (tidak lagi sebatas mengakui).

Sayangnya, nasionalisme kita yang ditunjukkan dengan lebih mengutamakan bahasa Indonesia rasanya perlu diragukan. Lihatlah berbagai acara besar yang selalu harus berbahasa asing! Nomenklatur gedung-gedung mewah juga selalu harus menggunakan bahasa asing. Hal itu kemudian berbuntut pada gengsi dan harga di sekitar masyarakat. Tulisan coffee, misalnya, mendadak dipajang di hotel sehingga harganya menjadi lebih mahal daripada kopi yang kita temukan ketika mampir di lepau-lepau. Menu bernama fried rice disajikan dengan mewah di restoran-restoran ternama dengan bayaran lebih tinggi daripada nasi goreng yang ada di kedai-kedai pinggir jalan. Bahasa asing seakan mengubah nasi goreng menjadi jauh lebih bermartabat hanya dengan menukar namanya menjadi fried rice. Oleh karena itu, generasi muda tampaknya makin termotivasi untuk meninggalkan bahasa Indonesia.

Tolehlah apa yang pernah disitir The New York Times (25 Juli 2010) dengan judulnya yang provokatif: “As English Spreads, Indonesia Fear for Their Languages! Di sana dikisahkan bahwa beberapa anak yang bermain di Jakarta sudah mahir menggunakan bahasa Inggris, tetapi tak tahu berbahasa Indonesia sama sekali. Para generasi muda memberikan pembelaan bahwa bahasa asing harus dikuasai. Senyampang dengan itu, Badan Bahasa juga sudah bermaklumat agar di samping melestarikan bahasa daerah dan mengutamakan bahasa Indonesia, kita juga harus menguasai bahasa asing. Toh, ambisi menguasai bahasa asing bukanlah peristiwa yang baru-baru ini saja terjadi.

Setidaknya kita dapat membaca iklan kursus bahasa Inggris di koran Daulat Ra’jat edisi perdana (201 September 1931) yang dipimpin Moh. Hatta, S. Sjahrir, dan Soeparman dari Belanda: “Sekolah Oesaha Kita” H.I.S. Partikoelir dengan keradjinan tangan [yang beralamat di] Kepoeh Bendoengan 148, Djakarta. Sekolah tersebut membuka cursus orang toea, salah satunya bahasa Inggris. Uniknya, di iklan itu, pengoreos memberikan “Salam Kebangsaan”. Artinya, menguasai bahasa asing tidak serta-merta membuat kita meninggalkan bahasa Indonesia. Sayangnya, kita harus jujur bahwa nasionalisme kita dalam berbahasa tidak semilitan nasionalisme bertanah air dan berbangsa yang satu.

Sekalipun kita sudah berhasil membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi dalam sidang UNESCO, hal itu tampak tidak bernyawa di akar masyarakat. Berbagai pelanggaran kebahasaan sering dipertontonkan tanpa ada upaya yang kukuh dari kita untuk mengganjarnya. Hal itu dapat dilacak pada penemuan Ombudsman RI, yaitu banyak pelanggaran terhadap berbagai aturan dan kebijakan tersebut dan negara diam saja (Kompas, 13-10-2018). Oleh karena itu, George Quinn, dosen Bahasa Indonesia sejak 60 tahun lalu di Australian National University, mengaku bahwa pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing makin lesu.

Mulai Militan

Kelesuan terjadi justru karena orang-orang di Indonesia sendiri yang sudah keranjingan bahasa Inggris (Kompas, 31-10-2018). Ada rasa minder berbahasa Indonesia di kalangan bangsa. Dengan kata lain, tidak ada militansi dalam berbahasa Indonesia. Hal itu sebagaimana termaktub dalam teori David Crystal (2003), yaitu bahasa Indonesia dipandang bukanlah sebagai simbol kemajuan, melainkan simbol ketertinggalan. Akhirnya, kita menanggalkannya dan membuat diri begitu berjarak dengan bahasa Indonesia. Padahal, di luar sebagai simbol, menurut Tymothy Binkley (1973), bahasa itu jauh lebih dekat dengan kita.

Bahasa adalah diri kita sendiri sehingga semestinya tidak berjarak. Persoalannya saat ini adalah kita membuatnya justru berjarak. Kita tidak peduli terhadap semua amanat undang-undang dan Sumpah Pemuda. Dalam hal ini, rasanya sudah tepat jika Kemendikdasmen berkomitmen membangun bahasa dan literasi sebab bahasa selalu menunjukkan bangsa sebagaimana filosofi leluhur. Selain itu, literasi menjadi kunci kebangkitan bangsa. Dengan sangat puitis, Joko Pinorbo pernah berkata, “Masa kecil kaurayakan dengan membaca; kepalamu berambutkan kata-kata. Dengan demikian, berliterasi membuat kita makin bersinar. Lagi pula, berliterasi itu terbukti sangat menyehatkan.

Berdasarkan studi Sussex University, membaca konon dapat mengusir stres sebanyak 68 persen. Jadi, jangan sepelekan membaca! Menurut riset, membaca puisi bahkan dapat mengendurkan denyut jantung dan mengharmoniskan irama napas (International Journal of Cardiology, 6-9-2002). Situs Mindbodygreen juga memberikan petunjuk, “Duduklah dan baca buku selama 20 menit!” Hal itu sama saja dengan melakukan meditasi selama 20 menit. Membaca membuat kita berpeluang besar terhindar dari kepikunan (Ken Pugh). Jika kita menoleh lagi pada sejarah kemajuan bangsa, tentu hal itu juga diawali dari literasi. Oleh karena itu, marilah, mulai sekarang kita menjadi militan untuk membangun bangsa dari bahasa dan literasi!

Riduan Situmorang

Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Koordinator P2G Humbang Hasundutan, Guru Penggerak Humbang Hasundutan, Pembina Sanggar Maduma

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa