Harmoni dalam Sajak Isbedy Stiawan ZS, A. Warits Rovi, dan Bagus Likurnianto

Di dalam seni, komposisi yang harmonis itu menjadi penilaian pertama dan utama. Setiap hal itu mempunyai struktur dan setiap struktur mempunyai unsur yang membangun struktur tersebut. Secara alamiah, banyak hal, dari apa yang kita sebut sebagai sesuatu yang indah itu, mempunyai bentuk-bentuk yang komposisional sehingga harmonis dan menjadi utuh di dalam keseluruhannya. Sebaliknya, di dalam keseluruhannya, hal itu menjadi utuh dan tidak sendiri-sendiri sehingga saling mendominasi secara berlebihan.

Sikap mengharmonikan realitas kehidupan seorang sastrawan, imajinasi, keindahan, dan kebermanfaatan terhadap karya sastra menjadi sebuah kekhasan. Persoalannya adalah tinggal bagaimana karya sastra itu dapat diterima oleh khalayak pembaca, baik untuk jangka pendek, sedang, maupun sangat panjang.

Lantas, bagaimana sajak (dan) Isbedy Stiawan, A. Warits Rovi, dan Bagus Likurnianto ini mampu merepresentasikan harmoni? Pertama, saya menulis esai ini bukanlah dalam kapasitas sebagai juri Lomba Cipta Puisi ASEAN (LCPA) yang diselenggarakan oleh Yayasan Kajian Nusantara Raya (YK Nura) sebab penjuriannya sudah selesai. Jurinya ada tiga orang, yaitu saya, Dr. Teguh Trianton, M.Pd. (penyair dan Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Prima Indonesia), dan Mahroso Dolloh, M.Pd. (penyair dan guru di Patani, selatan Thailand). Kedua, tentu perspektif saya ketika menjadi juri dan ketika saya menulis esai kali ini sedikit berbeda. Ketika menjadi juri LCPA, saya terikat dengan tema yang digariskan oleh panitia YK Nura. Namun, ketika menulis esai ini, saya memerdekakan batasan tematik tersebut.

Dari 697 sajak yang terdaftar kepada panitia, hanya 69 sajak yang dipilih menjadi nominasi oleh para juri. Kemudian, dipilih lagi 3 sajak sebagai pemenang LCPA. Tentu saya tidak akan membahas secara mendetail ketiga sajak, yang dengan segala perdebatan tiga juri, akhirnya dikukuhkan sebagai juara 1, 2, dan 3. Setidaknya, saya mempunyai beberapa catatan sebagai berikut. 

Ekspresi Kebahasaan Sajak Bukanlah Sekadar Alat

Setelah membaca berulang-ulang sajak “79” karya Isbedy Stiawan ZS, sajak “Elegi Kemanusiaan di Depan Layar HP” karya A. Warits Rovi, dan sajak “Kitab Sakti Negeri Ini” karya Bagus Likurnianto, saya tidak menemukan problematika dalam mengekspresikan keindahan sebagai sastra puisi di dalam ketiga sajak tersebut. Dalam teori sastra, puisi sering kali disebut sebagai sebentuk seni keindahan kata yang mendayagunakan intraestetiknya sedari pilihan kata (diksi), simbol, bahasa kiasan, citraan, sarana retotika, hingga faktor ketatabahasaan lainnya. Semua itu sudah terlampaui dengan baik oleh penyairnya. Puisi sebagai media untuk mengekspresikan gagasan penyair sudah dengan baik “dimainkan” oleh penyairnya. Bahkan, ekspresi kebahasaan bukanlah sekadar alat, melainkan bagian yang harmonis dalam memainkan instrumentalia, yakni antara perangkat bahasa sajak dan suara “kedirian” penyair terhadap gagasan yang diungkapkannya. Hal itu diekspresikan dalam sajak “Kitab Sakti Negeri Ini” karya Bagus Likurnianto berikut ini. 

Sajak Bagus Likurnianto Kitab Sakti Negeri Ini : Dirgahayu HUT Kemerdekaan RI Ke-79

prolog: 1509 sepi yang kurus tercatat di garis belulang dada leluhur kami juru rempah yang menjemur nasibnya di lingkar negara hikmat

di dasar batin merenungi mimpi sang tuan dan saudara-saudaranya, katanya: 

“bermimpilah seperti adam yang merasa pernah tinggal dalam surga, atau maria yang seolah telah melahirkan putra, sesungguhnya kita serupa idris yang mencatat kesaksian para perawi.”

rawi, i: 1928 “namun, kami bukanlah kekasih ilahi,” berkali-kali kami tatap matahari 

yang mekar di ubun-ubun seorang renta yang mencangkuli tanah airnya, 

telah kami catat kisah yang digores di riak-riak sungai kecil. 

akulah pena yang digenggam mahatangannya, izinkan aku menulis kisah mereka: 

kami putra dan putri indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air indonesia

kami putra dan putri indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa indonesia 

kami putra dan putri indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa indonesia 

rawi, ii: 1942 lantas ia memanggil-manggil nama yang terukir di batu yang tenggelam di muara, 

tempat malam yang retak dilarung oleh para pemuja. 

nenek moyang kami terlalu lugu, menyerahkan doa-doa anak cucu 

yang ditahirkan dalam kitab suci warisan para nabi. 

waktu melipat ramah-tamah kami di setiap  kepala manusia yang penuh tipu daya. 

gelayut wajah cemas dijamah tangan  yang murung, gunung yang menyimpan emas mulia, 

tanah lahirkan rempah, dan air kami mencurah

dari hulu bekas tancapan tongkat musa.  tetapi, telah lama kami menimba 

kekelaman sumur kami sendiri,  pohon yang tumbuh di hati kami 

tak pernah subur,  dan harapan tak kembang makmur. 

“wahai sang hyang wenang,  bila tak ada kemerdekaan,  lantas mengapa engkau menciptakan negeri  yang megah dalam mata kami,”

rintih seorang ibu berkaki kayu  yang membuka hatinya di pagi hari.  mengingat orang-orang yang dikutuk  usia dipaksa kerja membangun kota yang sunyi. 

berabad-abad kami mencatat,  tapi kami tak menahu naskah manakah  yang menceritakan jatuhnya rembulan  karena cinta dan kemerdekaan

bagi bangsa yang mencari darimana  arah cahaya menembus negerinya. 

sungguh, hari ini telah berlangsung kiamat,  maka di peralihan dunia, hujan begitu keramat 

dalam mata yang mengajari kesedihan  yang ranggas di kelaparan 

yang tertulis di perut bumi tiga  setengah abad lamanya. 

epilog:  1945  dalam kitab sakti ini,  halaman yang mahaluas ditulis atas nama ilahi 

sebagai janji manusia yang memanusiakan,  gambar pohon yang rindang jadi lambang keteduhan 

matahari di atas kepala kelak jadi pertanda  bahwa gelap begitu sempurna menerjemahkan 

hasil permusyawaratan; berpasang kaki melangkah  menuju peta yang konon katanya 

jadi petunjuk bagi seluruh bangsa  yang tengah membangun surga. 

Tamansari, 3 Agustus 2024 

Sejarah panjang Indonesia oleh penyair dinisbahkan ke dalam “Kitab Sakti Negeri Ini” sebagaimana perjalanan Kera Sakti yang mencari Kitab Suci. Demikianlah perjalanan sejarah Indonesia yang oleh penyair dalam sajaknya ini diawali dengan kehadiran Kolonial karena pesona rempah-rempah pada tahun 1509. Pastilah yang dimaksud itu Portugis karena VOC Belanda eksis pada tahun 1602. Dimulailah gagasan penyair mengalir dari //”bermimpilah seperti adam yang merasa / pernah tinggal dalam surga, / atau maria yang seolah telah melahirkan putra, / sesungguhnya kita serupa idris / yang mencatat kesaksian para perawi.”// Dengan demikian, kesaksian para perawi berlangsung pada bagian berikutnya. Pada peristiwa 1928, penyair melambangkan diri sebagai “pena”, //akulah pena yang digenggam mahatangannya, / izinkan aku menulis kisah mereka: / kami putra dan putri indonesia / mengaku bertumpah darah yang satu / tanah air indonesia / …. // Demikianlah Sumpah Pemuda itu dikutip oleh penyair. Kemudian, pada rawi berikutnya, yaitu tahun 1942, disebutkan bahwa Jepang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia hingga membuka pintu kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Penyair dengan berhasil mengekspresikan perjalanan panjang Indonesia dalam mengukuhkan “Kitab Suci Negeri Ini” ke dalam puisi liris yang kemudian dijelaskan, // jadi petunjuk bagi seluruh bangsa / yang tengah membangun surga. // “Kitab Suci Negeri Ini” diekspresikan ke dalam bagian terakhir yang menjadi “epilog: 1945” sehingga pembaca dapat secara langsung merujuk pada Pancasila. Namun, menurut hemat saya, justru di situlah letak “kekurangan” sajak Bagus Likurnianto ini jika dibandingkan dengan dua sajak pemenang lainnya. Dia bersetia pada pandangan yang normatif ketika memersepsikan dan memosisikan sejarah “Kitab Suci Negeri Ini” dengan Pancasila. Dia kurang mempunyai keberanian untuk melakukan subjektifikasi demi personalisasi pandangan hidupnya ketika memaknai sejarah bangsa dalam mengkristalkan nilai kebangsaan yang bhineka tunggal ika itu menuju Pancasila.

Sajak Bagus Likurnianto ini berhasil mengekspresikan gagasannya ke dalam sastrawi puisi. Dia memainkan ekspresi kebahasaan sajak bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai bagian yang harmonis dalam memainkan instrumentalia, yakni antara perangkat bahasa sajaknya dan suara kediriannya sebagai seorang penyair sekalipun dengan catatan dan dia kurang berani melakukan subjektifikasi demi personalisasi pandangan hidupnya.

Objektifikasi, Subjektifikasi, dan Personalisasi

Harmoni dalam sastra puisi juga dapat kita cermati dari penyampaian gagasan yang bukan sekadar “dinyatakan” secara verbal, melainkan juga “ditampilkan” sehingga hadirlah peristiwa-peristiwa dalam puisi yang kita baca tetap secara simbolik sebab itu adalah puisi. Hal itu diekspresikan melalui pertanyaan, yakni bagaimana realitas itu disikapi oleh penyair secara objektif; bagaimana realitas itu disikapi oleh penyair secara sukjektif; dan bagaimana realitas itu disikapi oleh penyair secara personal.

Objektifikasi, subjektifikasi, atau personalisasi bergantung pada sudut pandang narator dalam puisi. Jika hal itu ada dalam puisi lirik, narator dapat kita kenali sebagai aku-lirik. Sementara itu, jika hal itu ada dalam puisi balada atau sajak berkisah, narator bisa jadi selain aku-lirik. Sudut pandang narator inilah yang membuat kita dapat mengetahui hikmah penyair terhadap realitas yang dia baca, dia maknai, dan dia tafsirkan demi personalisasi (kepribadian) dia sebagai Manusia dengan m kapital yang mempunyai kemanfaatan bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi sesama manusia. Semua agama pastilah bersudut pandang agar hidup tidak kacau, sebagaimana etimologi kata agama, yaitu a berarti ‘tidak’ dan gama berarti ‘kacau’ sehingga agama berarti ‘tidak kacau’. Ada penataan, baik terhadap hal yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah sehingga tercipta harmoni. Hal tersebut senada dengan yang diekspresikan dalam sajak “Elegi Kemanusiaan di Depan Layar HP” karya A. Warits Rovi berikut ini.

Sajak A.Warits Rovi

Elegi Kemanusiaan di Depan Layar HP

di balik punggung kota yang ramai, alangkah senyap dan lembap garis keriput kening seorang ibu, yang lentera dadanya kehilangan sumbu, lantaran saat hendak masak, yang ada di panci hanyalah waktu—dan segala nawaitu telah dikalahkan aplikasi-aplikasi baru.

sedang anaknya yang yatim, hanya bisa membuat patung hujan dari air matanya sendiri, dipajang di rak dadanya dengan selusin luka, sebagai ganti mainan kuda-kudaan dan mobil-mobilan.

engkau yang melihat gambar tetanggamu itu di sebuah postingan, segera menggeser layar, begitu saja abai, malah membuka lokapasar dan membeli beberapa keinginan; kosmetik dengan diskon yang pura-pura, pakaian mahal dengan voucher murah yang menyimpan mata kail agar kau terpancing untuk kembali membeli tanpa henti, lantas kamu berhahahaha, karena rumus hidupmu hanya sekotak layar—bukan sekitar. dan apa yang kaukejar selalu menanggung dua kisah; agar puas, agar terlihat kaya. 

tak ada yang lebih mati daripada hati yang menyendiri di depan layar HP.

suatu hari, ibu dan anaknya yang yatim itu, melintas di depanmu. sebagai pemulung, ia sia-sia, karena petugas kebersihan telah mengangkut sampah—dan ibu itu hanya bisa menelan ludah, menahan air mata dengan sebaris doa; tak bisa menggeser jarak hidupnya dengan lapar yang memisau, tak bisa mengubah akar nasibnya yang hilau.

anaknya menjilat es krim air mata yang tak kunjung henti melabuhi lengannya yang serupa stik kering. bulan yang karam di langit siang, pada celah rusuk ketapang, hanya bisa menawarkan sapa yang hilang—karena kehidupan selalu retak oleh kesenjangan, dan kesenjangan adalah bulan yang ditinggal sendirian oleh banyak bintang.

kau melihat ibu dan anaknya; tetanggamu itu, tapi kau lebih peduli pada orang yang jauh di layar HPmu. kau telah dihasut arus kaum hedonis yang kerap menukar hati dengan tahi demi kenikmatan diri. rasa simpati apalagi empati telah melimbah dari hulu sungai modernitas yang dipenuhi sampah, lalu menghilir pada kekosongan.

tak ada yang lebih mati daripada hati yang menyendiri di depan layar HP.

di layar HPmu, kau lihat ibu itu terbaring sakit, liku beragam selang menjalari tubuhnya yang pucat, matanya hanya mampu berdialog dengan tetes-tetes glukosa dari botol infus. nebulizer merangkum sekian linang air mata yang melukainya dengan cara rahasia. anaknya yang sudah berkarib lapar, hanya bisa memeluknya dengan tangis yang tak sampai di telinga siapa pun; mereka merasa dunia kecilnya telah dirampas waktu—dan mata semua orang telah berubah jadi batu.

dan kau tak hirau itu, lekas menggeser layar, lebih memilih mengometari video tiktok dan instagram—sejauh ini, layar HPmu telah melarang matamu berbicara dengan hatimu.

hingga suatu hari, ada kabar kematian ibu itu di sebuah unggahan; tak ada siapa pun di sekelilingnya, selain anaknya yang menangis, meliput dirinya yang miris di pojok

nasib yang giris, dan itu tak lebih menyentuh hatimu ketimbang aksi pamer selebgram di layar HPmu.

saat ibu—tetanggamu—itu dikuburkan dengan sedikit pelayat, kau memilih melayat media sosial dengan ragam kematian yang kau anggap kehidupan.

dan anak itu, tetanggamu itu, kini, tinggal berdua dengan dirinya sendiri dan memanggil ibu kepada rasa sedih. ibunya telah mati, seiring dengan hatimu yang juga benar- benar mati, setelah kau kalah berkelahi dengan dirimu sendiri—di depan layar HP.

Sumenep, 2024 

Sajak “Elegi Kemanusiaan di Depan Layar HP” karya A. Warits Rovi ini mampu mengatasi konvensionalitas sebagai lirisisme yang sering kali bertumpu pada perspektif aku-liris dengan tradisi pemadatan kata dan peristiwa sebagaimana estetika puisi liris Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Yang dilakukan oleh A. Warits Rovi justru sebaliknya. Dia menarasikan kata dan peristiwa sehingga terkesan sajaknya “cair”. Akan tetapi, letak “puisi” dari sajak ini adalah pada bagaimana realitas hidup, baik benda mapun manusia, disikapi secara rohaniah sehingga memasuki ranah kedalaman batin manusia. Aku lirik mencemaskan “layar HP”. Ketokohan aku-lirik menampilkan realitas yang mencemaskan ditampilkan pada penggalan berikut. 

engkau yang melihat gambar tetanggamu itu di sebuah postingan, segera menggeser layar, begitu saja abai, malah membuka lokapasar dan membeli beberapa keinginan; kosmetik dengan diskon yang pura-pura, pakaian mahal dengan voucher murah yang menyimpan mata kail agar kau terpancing untuk kembali membeli tanpa henti, lantas kamu berhahahaha, karena rumus hidupmu hanya sekotak layar—bukan sekitar. dan apa yang kaukejar selalu menanggung dua kisah; agar puas, agar terlihat kaya. 

Kecemasan itu kemudian menarasikan seorang ibu dan anaknya yang yatim. Dia menjadi pemulung, tetapi pekerjaannya sia-sia karena petugas kebersihan telah mengangkut sampah, // ... ibu itu hanya bisa menelan ludah, menahan air mata dengan sebaris doa; tak bisa menggeser jarak hidupnya dengan lapar yang memisau, tak bisa mengubah akar nasibnya yang hilau.//

Persepsi dan posisi aku-lirik dalam sajak A. Warits Rovi ini dibangun kemudian sebagai sajak berkisah yang mirip dengan sajak balada, yaitu membangun kekuatan cerita. Meskipun demikian, sajak berkisah melibatkan aku-lirik sebagai bagian dari tokoh cerita yang terlibat di dalam peristiwa sajak. Aku-lirik dalam hal ini berdialog dengan “kau” yang tiada lain adalah dirinya sendiri, jadi semacam percakapan sendiri atau solilokui. Namun, terasa sudut pandangnya hitam-putih sehingga belum mampu membangun drama sebagai sajak berkisah. Hal itu tampak pada narasi dalam bait, yakni // kau melihat ibu dan anaknya; tetanggamu itu, tapi kau lebih peduli pada orang yang jauh di layar HPmu. kau telah dihasut arus kaum hedonis yang kerap menukar hati dengan tahi demi kenikmatan diri. rasa simpati apalagi empati telah melimbah dari hulu sungai modernitas yang dipenuhi sampah, lalu menghilir pada kekosongan. //

Larik // tak ada yang lebih mati daripada hati yang menyendiri di depan layar HP. // diulang sebanyak dua kali untuk memberikan gambaran demarkasi antara dunia ibu pemulung serta anaknya yang yatim dan dunia “kau” (yang dikomentari oleh aku-lirik yang tiada lain adalah “kau” itu sendiri). Akhirnya, ibu pemulung itu terbaring sakit, bahkan kemudian mati kelaparan, anaknya pun menjadi yatim piatu. Hal itu tergambar pada larik // .... hanya bisa memeluknya dengan tangis yang tak sampai di telinga siapa pun. // Akan tetapi, // kau tak hirau itu, lekas menggeser layar, lebih memilih mengometari video tiktok dan instagram—sejauh ini, layar HP-mu telah melarang matamu berbicara dengan hatimu.// Penyair pun menutupnya dengan bait yang menyederhanakan sudut pandang, yaitu // … dan anak itu, tetanggamu itu, kini, tinggal berdua dengan dirinya sendiri dan memanggil ibu kepada rasa sedih. ibunya telah mati, seiring dengan hatimu yang juga benar-benar mati, setelah kau kalah berkelahi dengan dirimu sendiri—di depan layar HP. //

Sebagai puisi yang dibangun secara berkisah, karya A. Warits Rovi ini mampu memberikan kesegaran ekspresi bahasa sajak dengan mengakrabi benda-benda dan peristiwa serta dunia kekinian, sekaligus mencemaskannya. Produk budayalah, yang menjadikan // … tak ada yang lebih mati daripada hati yang menyendiri di depan layar HP. // Sudut-pandang aku-kau lirik dalam sajak ini sayangnya menutup kemungkinan memasukkan kepedulian tokoh lain di sekitarnya sehingga terasa menyederhanakan persoalan. Padahal, sebagai sajak berkisah sekalipun sudut-pandang aku-lirik hadir, tidaklah tertutup kemungkinan hadir sudut pandang lainnya. Hal itu sama berhasilnya dengan sajak berkisah yang melibatkan aku-lirik dalam buku kumpulan sajak Derap-Derap Tasbih yang ditulis oleh D. Zawawi Imron, “gurunya”, yang juga berasal dari Sumenep, Madura.

Harmoni Instrumen Kebahasaan Sajak dan Suara Kemanusiaan

Dalam sajak “79” karya Isbedy Stiawan, kompleksitas kebahasaan sebagai gaya kepuitisan bukanlah target pertama penyair dalam menulis puisi. Puisi bagi penyair, seperti Isbedy Stiawan, merupakan cara pandang terhadap  realitas, termasuk dalam hal kemerdekaannya sebagai manusia yang memiliki kemanusiaan. Itulah sebabnya, pengalaman hidup penyair yang berpandangan harmonis terhadap realitas kehidupan berpengaruh juga terhadap bahasa puisinya. Bahasa puisinya mengharmonikan hubungan antara kata sebagai kata dan kata sebagai sistem perlambangan yang tetap aksentuasi dan pemaknaannya. Dengan demikian, bahasa sajaknya terbaca dan termaknai secara mudah, tetapi mendalam. Demikian juga halnya dengan sajak yang menjadi juara I pada LCPA yang digelar oleh Yayasan Kajian Nusantara Raya berikut ini.

Sajak Isbedy Stiawan ZS 79 

1. bisa hitung berapa kau tertawa dan mana banyak dengan air mata yang tumpah? 79 tahun aku catat setiap detak napas dan jejak, 

tapi yang datang padaku tansah cemas dan duka; di antara lambaian bendera dari rumahrumah di kampung sampai gedunggedung membusung 

aku tahu, meskipun hari ini kau diratakan lagi di tanah lapang baru apakah bisa kau beri senyuman untukku sebab kau berulang tahun? ke 79 dan bukan lagi belia tak ada lagi airmata mestinya cukup masa silam saja; sebuah kota ditenggelamkan, dua kota dibalikkan, laut dibelah hingga menenggelamkan orangorang

kini beri aku sebotol minuman, dan samasama bersulang! 

2. sebab dari pohon yang sama kita berakar dan tumbuh jadi ranting dan batang pun menjulang 

menengadah ke langit menatap tanah pijakan peta dicatat; tercipta benua atau kotakota yang jauh

“kita pun saling berburu tapi bukan untuk membunuh, ” bisikku 

lalu katamu, saling berpegang arungi lautan. benua yang jauh samasama kita rengkuh 

tambang dilubangi bukan untuk kubur kita   namun anakanak cucu yang menunggu bagian, 

selembar selembar jadilah!

2024

Sudut pandang penyair akan menjadi ternilai melalui caranya dalam membaca realitas, yakni pandangan hidupnya tentang keindahan, kebaikan, mikrokosmos dan makrokosmos, serta kesemestaan sebagai manusia.

Pertama, Isbedy Stiawan ZS bersiasat dengan memilih bentuk ekspresi bahasa sajak liris untuk mengungkapkan gagasannya tentang harmoni kemanusian di tengah hidup negara yang sudah berusia 79 tahun. Karena lirisisme, sudut pandang aku-lirik berleluasa memainkan peran dalam menyampaikan pandangannya melalui simbol yang dibangun pada usia 79 yang bukanlah usia belia, melainkan usia dewasa atau usia lanjut. Aku-lirik menyampaikan gagasannya yang cemas atas realitas, tetapi dengan cara yang sublim, tidak marah-marah, dan tidak hitam-putih. Dia cukup arif dalam menampilkan realitas yang kontras ini, // ... di antara lambaian / bendera dari rumahrumah di kampung / sampai gedunggedung membusung// aku tahu, meskipun hari ini kau / diratakan lagi di tanah lapang baru /apakah bisa kau beri senyuman untukku/ sebab kau berulang tahun?// Bahkan, melalui aku-lirik dia memilih harmoni, // tak ada lagi airmata mestinya / cukup masa silam saja // Bahkan, aku-lirik mengajak duduk bersama, // kini beri aku sebotol minuman, / dan samasama bersulang!//

Kedua, pemadatan kata-kata dalam sajak, bagi Isbedy Stiawan ZS, bukanlah sekadar pengurangan kata-kata, melainkan kemampuan menempatkan simbolisme yang tepat untuk kemudian meneruskannya menjadi simbolisme lain guna menyampaikan gagasannya tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, kelebihan Isbedy Stiawan ZS adalah dia mempunyai keberanian untuk menafsirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu secara realistis dan tidak sok idealistis. Dia tidak meneriaki, tetapi dia sampaikan melalui larik, // kita pun saling berburu / tapi bukan untuk membunuh, /  bisikku. // Bahkan, pandangan hidupnya jauh ke depan untuk anak-cucunya. Dengan humor Isbedy Stiawan ZS mengatakan // tambang dilubangi / bukan untuk kubur kita /  namun anakanak cucu / yang menunggu / bagian, // selembar selembar. jadilah!//

Sampai di sini, apakah harmoni dalam pandangan seorang penyair, baik itu di ranah instrumen kebahasaan sajaknya maupun suara kemanusiaannya, yang tidak steril dari realitas sosialnya, mampu bertahan sehingga dipandang sebagai sesuatu yang harmonis? Waktulah yang akan menilai. Namun, dalam perjalanan sejarah, nilai yang mengharmonikan manusia, alam, dan Tuhan tercatat sebagai hal yang lebih mempunyai napas panjang dalam kehidupan, sebagaimana nilai-nilai hikmah yang bersumber dari kewahyuan Al-Qur’an. Dimensi hikmah itu dipersepsikan dan diposisikan oleh aku-lirik dalam sajak ”79” karya Isbedy Stiawan ZS.***

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair dan guru besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa