Zaman Baru, Kumpulan Sajak Sitor Situmorang yang Tak Banyak Dibicarakan

Sitor Situmorang adalah salah seorang penyair yang dimasukkan ke dalam Angkatan 45 dan sedikit banyak menulis puisi dengan kecenderungan simbolisme. Ia termasuk penyair yang penting karena sajak-sajaknya yang sublim dengan campuran bentuk pantun turut memperkaya kesusastraan Indonesia modern, khususnya puisi. Walaupun demikian, beberapa puisinya pernah dianggap mengalami “kemorosotan”. Misalnya, kumpulan puisinya, Zaman Baru, tidak banyak dilirik karena selain ada aroma “kiri”, kualitasnya juga kurang menurut beberapa kritikus. Kumpulan sajak itu dapat dikatakan sebagai kumpulan sajak pamflet yang tentu berbeda dengan sajak-sajak pamflet gaya Rendra dalam bukunya, yaitu Potret Pembangunan dalam Puisi.

Pada periode setelah kumpulan puisi Zaman Baru, muncullah Angin Danau yang sebenarnya masih mengandung sisa-sisa dari kumpulan puisi pertamanya, tetapi tentu lebih banyak “pengondisian”. Dalam Zaman Baru, Sitor berfokus pada tema revolusi, sedangkan pada Angin Danau napas lokalitas coba dihidupkannya.

Berbeda dengan sebelum tahun 1960, sajak-sajak pengembaraan Sitor terasa lebih sublim dengan simbolisme kuat yang cukup banyak mendominasi kumpulan sajaknya, seperti Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Ketiga kumpulan sajak itulah yang dianggap sebagai karya-karya terbaiknya oleh, misalnya, kritikus Subagio Sastrowardoyo.

Apa yang berbau “kiri” memang seakan menjadi momok menakutkan sehingga untuk menyinggungnya dalam sajak pun seakan tabu. Hampir tidak ada atau tidak banyak dari dahulu hingga sekarang yang membicarakannya kembali, misalnya, sajak-sajak Klara Akustia. Mungkin yang pernah menyinggungnya adalah Subagio Sastrowardojo dalam buku kumpulan esainya, Bakat Alam dan Intelektualisme. Goenawan Mohamad dalam esai-esai awalnya pada tahun 60-an juga sedikit menyinggungnya, tetapi lebih bernada “menolak” gagasan sastra yang antiindividualisme itu. Esai-esai Goenawan lebih terasa eksistensialis daripada sosialis.

Dalam Zaman Baru ada puisi Sitor yang berjudul Anak Kuba di Peking yang sebelumnya telah termuat dalam antologi puisi pamflet bersama para penyair dan intelektual kiri lain, yaitu dalam buku tipis Viva Cuba!. Penulis yang puisinya tergabung dalam buku tersebut, antara lain, ialah S. Anantaguna, Budiman Sudarsono, Sitor Situmorang, Hr. Bandaharo, Lelonokaryani, A.R. Hadi, A.I. Hamid, T. Iskandar A.S., M.A. Simandjuntak, dan Agam Wispi dengan puisinya Tidak Akan Pernah Kuba Menjerah. Buku Viva Cuba! diterbitkan oleh Bagian Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Kuba di Indonesia. Sementara itu, judul buku diambil dari puisi Hr. Bandaharo. Tidak ada tahun terbit pada buku tersebut, tetapi jika dilihat tahun terdekat dari sajak-sajak yang dituliskan, diperkirakan kumpulan “pamflet” itu terbit tahun 1963.

Berbeda dengan antologi tipis sebelumnya yang berjudul Matinya Seorang Petani (diambil dari sajak Agam Wispi) yang diterbitkan oleh Bagian Penerbitan, Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra). Kemungkinan tahun terbit buku tersebut adalah 1961, lebih awal dari kumpulan Viva Cuba!. Para penulis yang tergabung di dalam buku tersebut, antara lain, ialah Agam Wispi, Amarsan Ismail Hamid, Benni Tjung, Chalik Hamid, F.L. Rissakota, Hr. Bandaharo, Klara Akustia, Ratini, Rumambi, Sobron Aidit, S. Anantaguna, dan T. Iskandar A.S. Tema utama kumpulan puisi ini atau subjek utamanya adalah petani. Terasa di dalamnya kecondongan pada komunisme Tiongkok dan pemikiran-pemikiran Mao Tse Tung. Nama Sitor Situmorang belum masuk dalam kumpulan puisi yang terbit lebih dahulu itu.

Zaman Baru bagi Subagio Sastrowardoyo tergolong kumpulan puisi yang kurang berhasil karena kehilangan “kepribadian” karena Sitor dianggap tidak lagi tampil di sana. Goenawan Mohamad pun pernah menyinggung soal kumpulan puisi Sitor tersebut dalam salah satu esainya sebagai “puisi slogan”. Goenawan juga menyayangkan, tetapi sekaligus maklum dengan apa yang dilakukan Sitor saat itu.

Hal itulah mungkin yang membedakan antara Sitor dan Rendra. Kumpulan sajak pamflet Rendra masih cukup banyak diperbincangkan jika dibandingkan dengan puisi dalam Zaman Baru. Mungkin karena momok pada kata dan segala hal yang “kiri” itulah Zaman Baru tidak pernah banyak disinggung. Mungkin juga itu terjadi karena Potret Pembangunan dalam Puisi lebih “netral” dalam arti tidak bertendensi “ideologi” sehingga lebih banyak dibicarakan walaupun tidak luput dari “cacian” dan anggapan negatif bahwa itu bukanlah puisi. Mungkin juga Zaman Baru terasa Tingkok sekali jika dibandingkan dengan Potret Pembangunan dalam Puisi yang sangat Indonesia. Akan tetapi, keduanya dapat diletakkan ke dalam sejarah yang memiliki keaktualannya masing-masing.

Jika Zaman Baru dianggap kehilangan “kepribadian”, justru kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi tidak kehilangan “kepribadian”. Dalam kumpulan sajak Sitor tersebut seolah tidak ada lagi Sitor, tetapi apa yang ada hanyalah “teks”. Dalam kumpulan sajak Rendra tersebut, terasa Rendra masih “berbicara” kepada kita. Namun, di sini saya tidak akan terlalu banyak membandingkan keduanya, tetapi hanya memberikan gambaran kecil.

Baiklah, kita tengok beberapa judul sajak dalam Zaman Baru, yaitu Impresi Tiongkok, Surat dari Tiongkok untuk Retni, Lagu-Lagu Tiongkok Baru, Udara Pagi di Peking, Tiongkok Lama, Makan Roti Komune, dan “Lukisan Pekerdja Tiongkok. Diksi tiongkok bertaburan di mana-mana. Hal itu terjadi karena memang sajak-sajak itu diperuntukkan sebagai semacam pujian kepada negeri Tiongkok itu. Namun, sungguh sayang, seperti pengakuan penyair sendiri bahwa sajak-sajak dalam kumpulan itu ditulis dengan terburu-buru dan kurang mendalam. Pada saat itu ia hanya melawat ke negeri tersebut sebentar sehingga belum banyak mengenal suasana kebudayaan setempat dan belum “menabung” pengalaman yang kemudian diendapkan cukup lama.

Ada satu sajak yang sering diulang-ulang Sitor dalam beberapa versi, yaitu pulanglah dia si-anak hilang yang diberi semacam persembahan atau keterangan, yaitu menurut Andre Gide, versi Chairil Anwar. Agaknya Sitor suka menggunakan frasa pulanglah dia si-anak hilang untuk kembali menggambarkan keterasingannya sebagai “manusia perbatasan” (istilah yang dibuat oleh Subagio Sastrowardoyo). Namun, sajak tersebut tidak sekuat sajak dengan judul yang sama, misalnya, yang terdapat di dalam kumpulan puisi Dalam Sajak dan Angin Danau.

Ada nuansa yang politis di dalam sajak pulanglah dia si-anak hilang yang termuat dalam Zaman Baru. Ada kata rakjat dan tanah air walaupun tidak ada kata tiongkok atau peking, tetapi tidak ada lagi gaya simbolisme di situ. Sajak lebih terasa kering daripada sublim yang menyentuh ruang batin. Segala kata terasa verbal dan vulgar, “mentah” tanpa digarap lebih mendalam. Sungguh aneh ketika Sitor seperti kehilangan jiwa kepenyairannya sebagai “manusia sunyi” dan terasing itu. Simaklah secara lengkap sajak berikut ini.

 

pulanglah dia si-anak hilang

                                      

menurut Andre Gide,

versi Chairil Anwar

 

Tuliskan disemua dinding:

Aku mendjumpai tanahair,

tapi tak pernah aku

                                    kehilangan dia!”

 

Tuliskan diseluruh mukaair:

Aku mendjumpai djiwaku,

padahal aku tetap dimilikinja!

 

Tuliskan dikaki langit:

Aku mendjumpai Rakjat,

sedang darahnya selalu

                                    memberi denjut djantungku!”

 

Kutulis disemua daun rumput:

Aku sekarang mendjumpai diriku,

karena kau pulang,

                                    pulang dari petualangan!”

 

Kutulis dan kubisikkan disemua pintu:

Selamat datang! Selamat datang!”

 

Sajak tersebut terasa hambar, verbal, dan tidak begitu menggugah. Seolah sajak tidak digarap dengan cukup tekun dan matang. Sepertinya itu tidak masuk ke dalam renungan alam bawah sadar penyair. Terlalu banyak tanda seru di sana, tetapi terlalu sedikit simbol yang kuat. Aku lirik yang dibicarakan tidaklah mewakili suatu kepribadian yang wajar ada di dalam tradisi puisi lirik.

Akhirnya, menjadi wajar ketika kumpulan puisi Zaman Baru tidak banyak dilirik dan dibicarakan. Mungkin kritikus merasa bingung akan mengulas bagian mana dari sajak-sajak yang termuat di kumpulan puisi tersebut ketika segalanya sudah menjadi teks tertutup, verbal, serbabanal, dan tidak membuka kemungkinan-kemungkinan akan penafsiran. Demikianlah kira-kira sedikit ulasan yang mungkin tidak memuaskan ini. Salam.

Khanafi

Khanafi tinggal di Yogyakarta. Tulisannya yang berupa puisi, esai, dan prosa tersiar dan tersebar di media daring serta cetak. Ia sekarang banyak menulis artikel dan esai untuk kolom-kolom. Ia pernah beberapa kali memenangi lomba puisi dan esai. Sehari-hari ia bekerja sebagai editor lepas, penerjemah bebas, perancang sampul buku, dan penjual buku-buku lawas ataupun baru. Ia tengah menyelesaikan novel pertamanya dan juga sedang mengulik satu buku terjemahan. Di sela-sela kegiatan mengedit naskah bakal buku dari beberapa penerbit, ia sesekali melukis di atas kanvas. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit, yakni Akar Hening di Kota Kering (SIP Publishing, 2021) kini dapat dibaca secara gratis di aplikasi baca buku digital, Lentera App. Sementara itu, buku keduanya, Bunga Bengkok di Dadamu (KataPilar Books, 2023), mendapat penghargaan sebagai Finalis Sayembara T Alias Taib yang diadakan di Kuala Lumpur pada acara Kuala Lumpur International Book Fair atau PBAKL (Pesta Buku Antarbangsa Kuala Lumpur) pada tahun 2023. Ia adalah founder penerbit Buku Piramid dan kurator media penyiaran sastra InstaPosT-Puisi (Instagram) yang akan dikembangkan lebih lanjut ke dalam bentuk cetak, yaitu Majalah Sastra Huesca dan Zine Fragmen (Seputar Puisi).

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa