Masa Depan Bahasa Daerah
Sumpah Pemuda sebagai embrio berdirinya Indonesia
sejak awal sudah mengandung filosofi semangat untuk persatuan, yaitu mengaku
bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; mengaku berbangsa satu, bangsa
Indonesia; dan menghormati keanekaragaman bahasa dengan menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Para pendiri dan penggagas bangsa sejak awal sudah
menanamkan keinginan untuk bersatu mewujudkan sebuah persamaan semangat
persatuan dengan tetap menjunjung tinggi dan menghargai perbedaan. Puncak
semangat persatuan tersebut diikrakan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia
sebagai awal terbentuknya NKRI.
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang selama ini dipahami dan dimplementasikan dalam kehidupan
masyarakat bernegara. Semboyan tersebut melekat dalam lambang negara Pancasila sebagai
bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman suku, bangsa,
bahasa, budaya, dan agama serta pulau yang berbeda-beda, tetapi tetap harus
bersatu dalam NKRI. Menurut BPIP, Pancasila sebagai pandangan hidup adalah
pedoman dalam setiap hal yang dilakukan serta sikap yang mencerminkan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Berketuhanan, berkeadilan sebagai
individu dan masyarakat, menjunjung dan mengamalkan persatuan, bermusyawarah
untuk menyepakati kebaikan, dan berkeadilan sosial dalam kehidupan keseharian
menjadikan Indonesia negara yang kuat.
Saat ini Indonesia merupakan negara yang memiliki
penduduk 282.477.584 jiwa sehingga menjadikan Indonesia negara ke-4 di dunia
yang memiliki jumlah penduduk terbanyak setelah Amerika Serikat (dunia.tempo.co).
Jumlah penduduk yang besar berpengaruh dalam penyebaran bahasa ibu karena
kesamaan bahasa ibu akan menjadi alat komunikasi awal guna mencapai tujuan
kelompoknya. Berdasarkan data Badan Informasi Geospasia (BIG), Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah daratan
1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2. Hal
tersebut membuktikan bahwa keanekaragaman yang melekat dalam negara kepulauan
merupakan potensi besar yang ada di seluruh wilayah Indonesia, baik secara
ekonomi, sosial, pertahanan, maupun kebudayaan.
Banyaknya jumlah penduduk dan pulau serta
keanekaragaman bahasa juga membawa pengaruh dalam tatanan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan data petabahasa.kemdikbud.go.id, saat ini terdapat 718 bahasa
daerah yang tersebar di wilayah Indonesia. Jumlah bahasa daerah paling banyak
ada di wilayah timur Indonesia. Bahkan, data yang dikeluarkan UNESCO cukup
mengejutkan, yaitu dari sekitar 7.600 bahasa daerah di dunia setiap 2 minggu
akan ada 1 bahasa daerah yang punah. Faktanya, saat ini dari 718 bahasa daerah
di Indonesia, berdasarkan data tahun 2019, terdapat 11 bahasa yang mengalami
kepunahan dan 24 bahasa mengalami kemunduran dari sisi jumlah penuturnya (jabarprov.go.id).
Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) tahun 2024, dari 718 bahasa daerah terdapat 18 bahasa daerah berstatus aman, 21 rentan, 3 mengalami kemunduran, 29 terancam punah, 8 kritis, dan 5 punah.
Bahasa daerah sejak awal merupakan salah satu
pilar penopang kekokohan terbentuknya NKRI. Namun, akan kontradiktif apabila
bahasa daerah tidak dilakukan pengembangan, pelindungan, dan pembinaan oleh
pemerintah. Sebenarnya pemerintah sudah sejak lama memberikan perhatian khusus
terhadap bahasa daerah sesuai dengan UUD Tahun 1945, yaitu Pasal 32 ayat (2)
bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional. Bahasa daerah banyak berkontribusi dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia.
Oleh sebab itu, sangat tidak mungkin jika bahasa daerah dipindahkan sebagai
entitas sendiri dalam pembangunan kebahasaan di Indonesia. Komitmen untuk tetap
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indoensia, tidak terlepas dari komitmen
pemerintah dalam melindungi, melestarikan, dan mengembangkan bahasa daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2014, Pasal 8 ayat (1) huruf c, pemerintah melaksanakan fasilitasi yang
diperlukan untuk pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan
pemerintah tersebut, yang disebut lembaga kebahasaan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri yang mempunyai tugas melaksanakan
pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra Indonesia adalah
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa).
Berdasarkan data kondisi bahasa daerah tersebut, sangatlah mendesak dilakukan intervensi oleh pemerintah melalui kebijakan revitalisasi bahasa daerah berskala nasional. Pengambilan kebijakan pemerintah tersebut berlandaskan pada keyakinan bahwa peran negara adalah mengelola (to manage) dan menangani problem-problemnya untuk memberi solusi terhadap seluruh aspek (Wayne Parson, 2014). Pengambilan kebijakan revitalisasi bahasa daerah oleh Badan Bahasa dapat dilakukan melalui teori tahapan kebijakan William Dunn dalam Winarno (2012) sebagai berikut.
1.
Penyusunan
Agenda
Pada
tahapan ini Badan Bahasa perlu berfokus pada hal-hal berikut.
a. Penentuan keberadaan bahasa dilakukan melalui pemetaan bahasa dengan tujuan untuk mengetahui persebaran bahasa daerah. Status bahasa diperlukan untuk mengetahui daya hidupnya.
Sumber: https://petabahasa.kemdikbud.go.id
b. Dasar hukum
sebagai legalitas ruang kebijakan, di antaranya, adalah Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan
Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Bahasa Indonesia; Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi; dan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 239/O/2024 tentang Rincian Tugas Unit Kerja Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa.
c. Penentuan sasaran sangatlah penting untuk pengambilan
kebijakan. Fokus objek adalah 718 bahasa daerah yang berada di seluruh wilayah
Indonesia.
d. Ruang lingkup pelaksanaan kebijakan bahasa daerah meliputi
penentuan langkah kerja dan aksi kegiatan kebijakan pelindungan bahasa daerah.
e. Kerangka pendanaan dalam kebijakan bahasa daerah ini
bersumber dari APBN, APBD, dan non govermental organization (NGO);
f. Indikator keberhasilan kebijakan bahasa daerah adalah terwujudnya tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan fungsi pelindungan bahasa daerah.
2.
Formulasi
Kebijakan
Peran Badan Bahasa sebagai pemerintah pusat adalah mendesain pelibatan dan dukungan masyarakat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dinas pendidikan, dan sekolah serta menentukan waktu pelaksanaan kebijakan revitalisasi bahasa daerah. Dalam penyusunan formulasi kebijakan ini akan terlihat jelas peran setiap pihak dalam implementasinya. Alur formulasi kebijakan revitalisasi bahasa daerah dapat dilihat dalam infografis berikut.
3.
Adopsi
Kebijakan
Berkat
apa yang dilakukannya, yaitu sejak tahun 1956 terutama di Pakistan Timur (kini
Bangladesh), Bangladesh dapat menggunakan bahasa Bangla sebagai bahasa resmi
yang mendapatkan legalitas dari pemerintah (https://internasional.kompas.com).
Strategi yang dilakukan Badan Bahasa tidak serta-merta mengikuti yang telah
dilakukan Bangladesh karena bahasa daerah di Indonesia secara filosofi
merupakan penopang pokok persatuan NKRI.
4.
Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan revitalisasi bahasa daerah dilaksanakan oleh Badan Bahasa sejak tahun 2021 sampai dengan 2045. Kebijakan ini, selain untuk mewujudkan jati diri bangsa, juga bertujuan untuk menyiapkan Indonesia Emas, yaitu pemerataan SDM unggul dan kompeten. Pelaksanaan penyusunan kebijakan ini melibatkan pemerintah daerah, sekolah, perguruan tinggi, komunitas pelestari bahasa, lembaga keagamaan, masyarakat umum, LSM, dan BUMN. Badan Bahasa dan pemerintah daerah bekerja sama menyusun formulasi paling tepat dalam pelaksanaan revitalisasi bahasa daerah dalam bentuk kajian tepat guna pelindungan bahasa daerah. Sekolah dan perguruan tinggi adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan karena dipandang sebagai lembaga yang paling efektif dalam melaksanakan revitalisasi bahasa daerah. Komunitas pelestari bahasa merupakan masyarakat mandiri yang memiliki komitmen dalam melakukan pelindungan bahasa daerah. Komunitas-komunitas itulah yang secara swadaya perlu didorong oleh Badan Bahasa dalam meningkatkan perannya untuk memajukan dan melestarikan bahasa daerah. Lembaga keagamaan berperan penting dalam mendorong masayarakat untuk terlibat dalam pelestarian bahasa daerah. Pemilihan tokoh agama dalam kelembagaan masih menjadi jalan efektif untuk berkampanye agar masyarakat memedomani kebijakan pemerintah. Masyarakat umum melalui keterwakilannya, baik pada tataran RT maupun RW dilibatkan dalam memformulasikan kebijakan revitalisasi bahasa daerah. Bahkan, BUMN sebagai lembaga pemerintah yang berorientasi pada keuntungan dilibatkan dalam mendorong, menyosialisasikan, dan mendanai program revitalisasi bahasa daerah.
Untuk
mencapai tujuan yang maksimal dan menyesuaikan karakter dengan wilayah
kebahasaannya, dalam kebijakan revitalisasi bahasa daerah perlu dimunculkan
beberapa model.
a.
Model A
Revitalisasi model ini
dilakukan dengan berbasis sekolah dan diterapkan kurikulum muatan lokal berkarakteristik
sasaran daerah, yaitu (1) daya hidup bahasanya masih aman, (2) jumlah penutur
masih banyak, dan (3) masih digunakan sebagai bahasa yang dominan di dalam
masyarakat tuturnya. Pelaksanaan teknis di sekolah diwujudkan dalam kegiatan
membaca dongeng dan mendongeng, berpidato menggunakan bahasa daerah, membaca
dan menulis aksara daerah, membaca dan menulis cerpen berbahasa daerah, membaca
dan menulis puisi berbahasa daerah, menyanyikan tembang berbahasa daerah, membawakan
lawakan tunggal, bertanding cerdas cermat, dan melakukan materi lainnya. Dalam penyusunan
model ini dilakukan tahapan kegiatan yang meliputi rapat koordinasi,
sosialisasi dan pelatihan guru utama, diseminasi dan implementasi di sekolah,
dan Festival Tunas Bahasa Ibu (Badan Bahasa, 2022, hlm. 44--45).
b.
Model B
Revitalisasi bahasa
daerah model B dilakukan terhadap bahasa daerah yang berkarakteristik (1) daya
hidup bahasanya tergolong rentan, (2) jumlah penutur relatif banyak, dan (3)
bahasa digunakan secara bersaing dengan bahasa-bahasa daerah lain. Pendekatan
yang dilakukan untuk melaksanakan model B ini ialah program pembelajaran
berbasis pencelupan (immersion program), pembelajaran berbasis praktik
satu hari berbahasa daerah (one-day language practice), pembelajaran
berbasis teknologi, pembelajaran berbasis keagamaan, pembelajaran berbasis seni
dan budaya, dan pembelajaran berbasis kreativitas. Program revitalisasi model B
diimplementasikan dalam tiga tahapan besar, yakni survei dan koordinasi,
pelatihan dan pembelajaran, serta pelaksanaan Festival Tunas Bahasa Ibu (Badan
Bahasa, 2022, hlm. 44--45).
c.
Model C
Revitalisasi bahasa
daerah model C dilakukan terhadap bahasa daerah yang berkarakteristik (1) daya
hidup bahasanya tergolong dalam kategori mengalami kemunduran, terancam punah,
atau kritis serta (2) jumlah penuturnya sedikit dan sebaran wilayah tuturnya
terbatas. Basis kegiatannya meliputi komunitas dan masyarakat (keluarga/individu).
Tahapan yang ditempuh meliputi persiapan revitalisasi melalui survei dan
koordinasi, pembelajaran atau pelatihan, aksi revitalisasi, pelaporan hasil,
dan pengembalian mutu (Badan Bahasa, 2022, hlm. 44--45).
5.
Evaluasi
Kebijakan
Untuk menemukan kekurangan dan melakukan perbaikan dalam
formulasi kebijakan, perlu dilakukan pemantauan (monitoring) dan
evaluasi. Suchman dalam Winarno (2012: 234) menyebutkan bahwa ada enam langkah
dalam evaluasi kebijakan, yaitu
a.
mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi;
b.
menganalisis
masalah;
c.
membuat deskripsi
dan standardisasi kegiatan;
d.
melakukan pengukuran
terhadap tingkatan yang terjadi;
e.
menentukan
apakah perubahan yang diamati merupakan akibat kegiatan tersebut atau karena
penyebab yang lain; dan
f.
mengidentifikasi
indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
Proses evaluasi atas pelaksanaan kebijakan akan direncanakan sebagai berikut.
Idealnya, kebijakan revitalisasi bahasa daerah berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah bahasa daerah yang punah. Fakta di dalam masyarakat yang diharapkan ialah banyak generasi muda yang menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan keseharian sehingga laju kepunahan dapat dihambat.
Badan Bahasa secara mandiri menyusun dokumen manajemen risiko dan melakukan mitigasi sejak awal guna mengidentifikasi masalah untuk meramal kemungkinan-kemungkinan mayor atas penerapan kebijakan revitalisasi bahasa daerah. Agar lebih akurat dalam mengidentifikasi masalah atas pelaksanaan kebijakan, Badan Bahasa secara berkala bekerja sama dengan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek untuk melakukan audit kinerja guna menemukan permasalahan dan melakukan perbaikan berkelanjutan terhadap kebijakan yang ada.
Tingkat keberhasilan kebijakan revitalisasi dapat diklasifikasikan
dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Rendah menunjukkan bahwa
komitmen pemerintah daerah rendah dan masyarakatnya apatis terhadap kondisi
bahasa daerahnya. Sedang menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan sebagian masyarakatnya
masih ada yang peduli terhadap kondisi bahasa daerahnya. Sementara itu, tinggi
menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan masyarakatnya berkomitmen untuk
melestrikan bahasa daerahnya. Bentuk perhatian pemerintah daerah terhadap
bahasa daerah merupakan komitmen yang harus ditumbuhkan untuk memberikan ruang
kebijakan dalam pelindungan bahasa daerah. Hal tersebut terlihat dengan
dibukanya penerimaan pegawai lulusan sarjana bahasa daerah.
Jangan sampai perubahan perilaku pemerintah dan masyarakat dalam revitalisasi bahasa daerah dipengaruhi oleh faktor di luar kebijakan revitalisasi bahasa daerah.
Peningkatan penggunaan bahasa daerah di masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya melindungi dan mengembangkan bahasa daerah melalui program revitalisasi bahasa daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan eksistensi bahasa daerah sehingga bahasa daerah dapat terus hidup di tengah masyarakat, baik di wilayah tutur aslinya maupun di wilayah tutur lainnya (Budiono, 2022).
Jika kebijakan tidak memberikan dampak apa pun, dapat dimaknai bahwa kebijakan tersebut tidak berhasil. Pemerintah pusat melalui Badan Bahasa wajib menjamin bahwa kebijakan revitalisasi bahasa daerah memberikan dampak signifikan dalam melindungi, melestarikan, dan membina bahasa daerah di seluruh wilayah NKRI.
Budiono, Satwiko. 2022. “Pemasyarakatan
Bahasa Daerah bagi Penutur Muda di Indonesia”. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa.
Parsons, Wayne. 2014. Public Policy
Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik
Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS.
Yulianeta, dkk. 2022. Pedoman Revitalisasi Bahasa Daerah. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
https://internasional.kompas.com/read/2019/02/21/18132811/bangladesh-di-balik-lahirnya-hari-bahasa-ibu-internasional?page=all
diakses pada tanggal 2 Oktober 2024
https://dunia.tempo.co/read/1895132/inilah-10-negara-dengan-populasi-terbanyak-di-dunia-2024 diakses pada tanggal 3 Oktober 2024
https://jabarprov.go.id/berita/unesco-setiap-dua-minggu-satu-bahasa-daerah-punah-di-dunia-12944 diakses pada tanggal 3 Oktober 2024
https://petabahasa.kemdikbud.go.id diakses pada tanggal 4 Oktober 2024

Sun’an Yohantho
Anggota Tim Perencanaan Badan Bahasa