Puisi Indonesia Pasca-Chairil Anwar

Perpuisian Chairil Anwar dapat dijadikan penanda perkembangan perpuisian Indonesia dari puisi lama ke puisi baru. Puisi lama berorientasi pada pantun dan syair yang terikat oleh bentuk teratur, rapi, dan simetris; mempunyai persajakan akhir; empat seuntai; tiap barisnya terdiri atas dua periodus; dan tiap gatra terdiri atas dua kata. Chairil Anwar dalam sajak-sajaknya membebaskan bentuk-bentuk terikat tersebut sehingga salah satu penanda yang utama dari puisi baru adalah apa yang disebut sebagai puisi bebas.

Kebebasan dari puisi bebas yang dijiwai perpuisian Chairil Anwar itu salah satu penyebab utamanya ialah membebaskan diri dalam proses kreatifnya untuk belajar dari sumber mana pun. Dikatakan oleh H.B. Jassin bahwa sudah tidak ada lagi dikotomi antara Barat dan Timur. Keduanya tidak lebih jelek atau lebih baik (1985: 7). Perhatian angkatan sesudah perang (Angkatan ‘45) lebih intensif tertuju ke luar, seperti terbukti dari studi mereka tentang pengarang Rusia, Prancis, Inggris, dan Amerika, yang dipelajari sungguh-sungguh dan buku-bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Perhatian demikian tidak begitu jauh pada Pujangga Baru yang hanya sampai pada Angkatan ‘80 di negeri Belanda (1985: 22).

Penolakan terhadap konsep perpuisian Nusantara klasik (pola seloka lama) itu ditegaskan oleh Chairil Anwar (1922—1949), “Kita anak dari masa yang lain”, “pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati”, akan dia panjat, dan akan dia potong cabang-cabangnya, yang merindang merimbun tak perlu. "Aku berani memasuki rumah suci hingga ke ruang tengah." Itulah penjelasan Chairil Anwar dalam pemberontakannya ter­hadap tradisionalisme (dalam Jassin, 2013: 170—171).

Dalam praktik sastra, Chairil Anwar dan Angkatan '45 memperlihatkan seleranya yang besar terhadap karya Marsman, E. Du Perron, J.J. Slauerhoff, Willem Elsschot, Archibald Nacleish, Multatuli, R.M. Rilke, John Cornford, Conrad Aiken, W.H. Auden, T.S. Eliot, dan lainnya. Chairil Anwar menerjemahkan karya mereka, kemudian menyadur sebagian karya mereka. Dengan berkiblat pada kesusastraan Eropa itu, tak bisa dihindarkan bahwa karya Chairil Anwar merupakan cerminan dari postur modern total, yakni dengan mengidentifikasikan dirinya sebagai individualis kota besar seperti penyair Barat yang dikaguminya. Keadaan dalam karya Chairil Anwar sangatlah kontradiktif jika dibandingkan dengan nada santai lingkungannya serta pemandangan udik dan kampung yang merupakan tipikal kehidupan negeri (bekas) jajahan.

Perambahan Chairil Anwar pada konsep puitika Barat itu di satu sisi membawa pandangan baru terhadap puisi modern Indonesia sekaligus membuka kesadaran penyair setelahnya untuk menggali konsep puitika dan kearifan lokal. Namun, hal itu disertai kesadaran modern yang menyesuaikan perkembangan zaman.

Periode 1950-an s.d. 1960-an pada dasarnya masih meneruskan konvensi Angkatan ‘45 (Pradopo, 1995: 45). Hal itu tecermin pada perpuisian karya Sitor Situmorang (kumpulan sajak Surat Kertas Hijau [1954]), Toto Sudarto Bachtiar (kumpulan sajak Suara [1956] dan Etsa [1958]), dan Subagio Sastrowardoyo (Simponi, 1957). Akan tetapi, pada periode ini gaya pernyataan Angkatan 45 menjadi berkurang dan berubah menjadi gaya bercerita. Pada periode ini berkembang puisi epik yang terkenal dengan nama balada yang dipopulerkan oleh W.S. Rendra melalui Balada Orang-orang Tercinta (1957). Di samping W.S. Rendra, gaya balada ini juga mendapatkan variannya yang tidak kalah indahnya dibandingkan dengan balada W.S. Rendra, yaitu pada puisi “Jante Arkidam” karya Ajip Rosidi (Cari Muatan, 1959) dan kumpulan sajak Priangan si Jelita karya Ramadhan K.H. (1957). Para penyair yang sudah mulai menulis sesudah tahun 1950 selain yang sudah disebutkan ialah Kirdjomuljo, Subagio Sastrowardoyo, Sugiarto Sriwibowo, Mansur Samin, Djamil Suherman, Hartojo Andangdjaja, dan beberapa lainnya.

Perkembangan perpuisian Indonesia ini dilanjutkan oleh penyair yang sudah mulai menulis sajak pertengahan 1950-an, kemudian mulai muncul dan terkenal sesudah tahun 1960-an. Mereka itu adalah Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Piek Ardijanto Soeprijadi, Darmanto Jt., M. Poppy Hutagalung, Saini KM, dan Isma Sawitri.

Pada pertengahan 1960-an terbit puisi perlawanan akibat demonstrasi kaum muda Angkatan 66 yang menentang Orde Lama yang berdasarkan politik Nasakom yang bertentangan dengan Pancasila. Di antara puisi perlawanan ini yang paling terkenal adalah sajak-sajak Taufiq Ismail yang kemudian diterbitkan menjadi buku Tirani (1966) dan Benteng (1966) (Pradopo, 1995: 48—49).

Pada akhir 1960-an, di samping berkembang puisi perlawanan tersebut, muncul sajak-sajak karya Sutardji Calzoum Bachri yang mendasari lahirnya puisi bergaya mantra (kumpulan sajak O Amuk Kapak, 1981) serta berkembang puisi liris dan puisi imaji Goenawan Mohamad (kumpulan sajak Parikesit, 1969), Sapardi Djoko Damono (kumpulan sajak Dukamu Abadi, 1968), dan Abdul Hadi W.M. (kumpulan sajak Laut Belum Pasang, 1971) yang dikembangkan dari perpuisian Chairil Anwar.

Perkembangan tersebut terus berlanjut memasuki periode 19701990-an. Periode inilah yang menjadi dasar bagi perkembangan perpuisian 1990-an s.d. 2000-an, yang di dalamnya ada perpuisian A. Mustofa Bisri. Sebagaimana dibahas oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam “Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia” dan “Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar” (1995), disimpulkan bahwa ada lima ragam perpuisian Indonesia periode 1970—1990, yakni (1) puisi mantra, (2) puisi bergaya imaji, (3) puisi lugu atau mbeling, (4) puisi yang menonjolkan latar sosial budaya Nusantara (daerah), dan (5) puisi lirik yang masih meneruskan gaya perpuisian Angkatan ‘45 (1990: 2).

Dari pemetaan Rachmat Djoko Pradopo tersebut, puisi berestetika mantra itu dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri (pada kumpulan sajak O Amuk Kapak, 1981); puisi bergaya imaji dipelopori oleh perpuisian Goenawan Mohammad (sejak kumpulan sajak Pariksit, 1969), Sapardi Djoko Damono (sejak kumpulan sajak Duka-Mu Abadi, 1968)  dan Abdul Hadi W.M. (sejak kumpulan sajak Laut Belum Pasang, 1971); puisi lugu atau mbeling dipelopori oleh Remy Sylado dan Yudhistira ANM Massardi (sejak kumpulan sajak Sajak-Sajak Sikat Gigi, 1983); puisi yang menonjolkan latar sosial budaya Nusantara (daerah) terutama setelah menonjolnya puisi karya Darmanto Jatman (sejak kumpulan sajak Bangsat, 1974) dan Linus Suryadi AG (sejak prosa-lirik Pengakuan Pariyem, 1981); serta puisi lirik yang masih meneruskan gaya perpuisian Angkatan ‘45 seperti pada perpuisian Sitor Situmorang (seluruh puisinya dikumpulkan dalam buku Bunga di Atas Batu (Si Anak Hilang: Pilihan Sajak, 1948—1988, 1989).*****

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair, dan Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa